Kilometer Nol Indonesia, Sabang dan Pulau Weh

Tidak lengkap rasanya jika sudah keliling di beberapa tempat di Indonesia, namun belum sambang ke ujung barat, kota Sabang. Ditambah lagi, iming-iming dari buku “The Underwater Realm of : Weh Island” yang mengungkap keindahan bawah laut pulau Weh. Katanya, belum jadi diver Indonesia, jika belum pernah nyelam di Aceh. Beberapa slide foto yang ditampilkan saat promosi singkat di Deep Extreme Expo tahun 2015, nambah bikin ngiler. Terutama foto underwater volcanonya.

Akhirnya diniatkan akhir tahun 2016 ditutup dengan berlibur ke pulau Weh. Berhubung masih pekerja kantoran dengan jumlah cuti yang terbatas, alhasil hanya bisa dapat liburan empat hari saja, 24-27 Desember. Hitung-hitung icip dulu lah. Melihat suasana Aceh dan pulau Weh.

Masalah pesawat, memang belum ada yang direct flight dari Surabaya ke Banda Aceh, sehingga memilih beberapa alternatif, yang mana akhirnya diambil rute Surabaya transit Batam lanjut Banda Aceh, sementara pulangnya transit di Medan. Sekarang kita sudah dimudahkan dengan beberapa akses online ke maskapai penerbangan, sehingga kita bisa atur sendiri sesuai dengan budget dan waktu keberangkatan.

Setelah urusan penerbangan beres, lanjut memilih resort di area pulau Weh yang dekat dengan spot diving. Beberapa review menunjuk Iboih Inn Resort sebagai salah satu tempat yang menarik untuk istirahat dengan view yang istimewa, sehingga langsung booking lewat websitenya.

Menjelang beberapa hari sebelum keberangkatan, tersadar bahwa tanggal 26 Desember merupakan peringatan terjadinya Tsunami Aceh, sehingga akan dilarang melakukan semua aktivitas di laut pada tanggal tersebut. Yeah, jadinya urusan diving dan detailnya mengenai peringatan itu akan dicari tahu saat di lokasi saja, sehingga tidak dilakukan booking terlebih dahulu.

Saat matahari belum terbit, sudah sibuk check in ke bandara Juanda Surabaya. Penerbangan 3 jam ke Batam dan transit sejenak, lanjut lagi menuju Banda Aceh. Hm… satu hal yang tak terlupakan, mengingat Aceh ini sebagai kota Syariah, yang mana mewajibkan warganya berbusana muslim, maka saya jaga-jaga dengan menggunakan celana panjang kombor (alias ga ketat di badan) dan nyiapin jaket serta penutup kepala.

Setiba di bandara Aceh, langsung mencari transportasi menuju pelabuhan, karena mengejar kapal dari Banda Aceh menuju pulau Weh pk. 16.00 WIB. Perjalanan menuju pelabuhan lebih kurang 1 jam, sambil disuguhi pemandangan sekeliling kota Banda Aceh. Saat lewat beberapa tempat bersejarah, si sopir taxi sekilas bercerita dan memang berencana melihat detailnya sepulang dari pulau Weh nanti.

Sampai di pelabuhan langsung mencari tiket kapal Bahari Express, dengan harga Rp. 80.000 untuk eksekutif dan Rp. 100.000 untuk VIP. Cenderung yang VIP sudah habis terbeli, sehingga dapatnya tiket eksekutif. Masih ada sisa waktu, saatnya makan siang di kantin pelabuhan. Berupa deretan warung-warung, menjajakan menu dengan pilihan masakan yang sudah tersaji, menyerupai warung Padang, namun ini ala Aceh. Saya pilih secara acak, warung di tengah, pesan seporsi nasi dengan lauk pilih sendiri dan sepiring lagi mie Aceh, asli di kotanya. Tak lupa pesan kopi Aceh. Apa yang lebih nikmat ketimbang mencicipi kuliner asli dari daerah asalnya langsung.

Sambil makan, ngobrol dengan pemilik warung. Lauk yang saya coba namanya “pepes dencis” dengan tekstur ikannya yang lembut, bumbu pepesnya yang sedap dan mantap. Sementara mie Aceh, merupakan mie goreng nyemek dengan bumbu kental dari tomat dan sambal. Nikmatnya luar biasa. Lupakan dietlah kalau traveling seperti ini.

Sembari menghabiskan kopi nikmat, seseorang menyapa dan ngajak ngobrol. Bang Roy namanya. Secara pelan tapi pasti, Bang Roy bermaksud mengantarku menikmati kota Banda Aceh. Berhubung hari pertama ini saya langsung ke pulau Weh, maka dibuatlah janji temu dengannya saat balik ke Banda Aceh saja. Tuch kan, jangan pernah khawatir jalan-jalan sendiri, karena pasti banyak kebaikan yang datang kepada kita, meskipun buntut-buntutnya jualan jasa, asal seimbang tidak masalah. Win-win solution kan.

Terdengar pengumuman menggema, pertanda kapal sudah siap, membuat saya beranjak dari warung dan berjalan kembali mendekati dermaga. Puluhan orang antri memasuki kapal. Bisa narsis sejenak sembari menunggu antrian.

Untuk kelas eksekutif, duduknya ada di bawah dengan deretan bangku tanpa nomer. VIP juga sama sich, tidak ada nomer bangkunya, tapi lebih luas. Tidak lama kapal berangkat, dengan ombak yang cukup mengayun keras, sehingga waktu 3 jam lebih banyak digunakan untuk tidur saja.

Sesampai di pelabuhan, sudah dijemput oleh Bang Muchtar, kenalan Bang Roy tadi, naik becak motor. Ternyata becak motor di pulau Weh ini, terdiri dari satu motor pengendaranya, digabung dengan 4 tempat duduk di samping kiri motor tersebut. Kalau hujan ya basah, namun mereka biasanya menyiapkan penutup plastik. Sore itu gerimis, namun cukup ditutup jaket saja, agar masih tetap leluasa melihat pemandangan sekitar.

Sekitar satu jam lebih mengendarai becak motor, akhirnya tiba di parkiran umum, gerbang masuk ke kampung Iboih. Jalannya diberi palang besi, sehingga pengunjung hanya bisa berjalan kaki memasuki area kampung tersebut. Jadi sebenarnya Iboih adalah nama salah satu kampung di ujung pulau Weh. Nah Ibioih Inn Resort adalah nama resortnya yang berada di kampung Iboih. Akses menuju Iboih Inn Resort adalah jalan sempit dengan tanjakan dan turunan, sehingga biasanya kedatangan dan pulang, pihak resort memberikan jasa penjemputan menggunakan speedboat, mengingat barang bawaan pasti banyak.

Tak sampai 5 menit, tiba di lobby resort. Dermaga bersambung dengan bangunan kayu diisi sederatan kursi bantal untuk bersantai dipadu dengan beberapa kursi kayu untuk makan di restonya, semuanya menghadap ke laut. Ngobrol sekilas dengan pemilik resort, seorang wanita paruh baya. Terutama mengenai kelayakan berbusana di area resort dan kampung Iboih. Beliau menyarankan untuk tetap berbusana sopan dan tertutup selama berjalan-jalan di area kampung Iboih, sementara di sekitaran resort, tidak masalah jika ingin pakai baju renang untuk bermain di sekitaran dermaga.

Saya menanyakan juga ke pihak resort mengenai dive center yang direkomendasikan atau yang mereka ada kerjasama, barangkali bisa dapat harga spesial. Ternyata mereka membebaskan tamunya untuk menggunakan dive center manapun. Adapun yang terdekat dengan lokasi resort adalah Rubiah Tirta Divers.

Setelah meletakkan barang di kamar, jalan-jalan di sekitar kampung dan mencari dive center, supaya besok bisa langsung diving. Dan benar saja, tanggal 26 Desember, tidak boleh melakukan aktivitas di laut, berlayar, bermain air, memancing, snorkeling ataupun diving. Setelah siang baru bisa, terutama untuk kapalnya. Sehingga kalau diving pun tanggung jika mulainya sudah siang. Maka diputuskan diving sehari saja dan esoknya lagi pas tanggal 26 Des jalan-jalan darat saja menuju Titik Nol Indonesia.

Paket divingnya tidak terlalu mahal. Bergabung dengan beberapa rombongan lain. Tamu paling banyak adalah dari Malaysia dan Jepang, sementara dari Indonesia hanya kami, 4 orang saja. Satu kapal bisa diisi 10 orang, terbagi untuk 2 kelompok penyelaman. Lokasi penyelaman tidak terlalu jauh dari pulau. Di setiap istirahat antar dive satu dengan dive berikutnya, kami diajak kembali ke pulau. Istirahat pertama memanjakan lidah dengan sarapan secangkir kopi Aceh. Sementara istirahat kedua, berniat mengisi perut dengan makanan berat sekaligus makan siang. Keliling warung dan akhirnya tertarik untuk nyobain ayam tangkap. Ayamnya digoreng bersama dengan daun pandan, daun salam dan cabai hijau. Bumbunya unik dan enak. Menu kedua adalah sup kepiting, dengan harga yang murah meriah ala warungan, cuma Rp.25.000 / porsi. Kuahnya sedap dengan sayuran segar plus potongan cabe di dalamnya. Kenyang sekali rasanya, semoga tidak mengganggu aktivitas dive ketiga nanti.

Berhubung cuma sempat dive sehari saja, maka saya hanya dapat 3 spot, tidak sempat untuk mencicipi diving di area volcano. Kurang lebih biota lautnya sama dengan yang sering saya temui. Bonus kali ini adalah, saya pertama kalinya melihat telur nudibranch (=sejenis lintah laut) dimana bentuknya menyerupai pita atau beefslice merah muda segar. Awalnya saya tidak tahu apa itu, sampai seorang teman komen foto tersebut.

Bonus lain adalah sempat melihat eagle ray atau devil ray. Menyerupai manta ray, namun proporsional tubuhnya berbeda. Hal unik yang ditemui, yang belum pernah terlihat di tempat lain adalah, di bawah perairan sekitar pulau Weh ini, banyak sekali bongkahan batu besar ditumbuhi tanaman halus, sekilas tampak seperti lumut.

Esoknya, suasana sekitaran kampung Iboih sepi. Hampir semua ikut ritual peringatan Hari Tsunami, berupa doa bersama di dekat pantai. Akhirnya cukup susah mencari penyewaan sepeda motor. Banyak tergeletak motor nganggur, tapi pemiliknya pada ikut ritual semua. Akhirnya karyawan Iboih Resort yang rela minjamkan kendaraannya, supaya tetap bisa keliling pulau.

Keluar dari kampung Iboih tinggal putar balik, mengikuti arah ke Kilometer Nol. Jalanan paling bagus dan mulus di Indonesia yang pernah saya temui ya di sini. Jalurnya berkelok-kelok, tapi aspalnya halus mulus. Cuma 15 menit saja, akhirnya tiba di area parkiran. IconTitik Nol ada dua, yang satu berupa tulisan balok “Kilometer Nol” sementara satunya berupa tugu, yang sayangnya sedang direnovasi, sehingga sulit untuk dipotret full dengan sempurna.

Sebelumnya, bang Ridal, juru masaknya Iboih Inn Resort sempat menyarankan untuk mampir Gua Sarang. Akses jalan di pulau ini cuma satu sehingga tinggal mengikuti jalurnya. Menyisir sisi barat pulau Weh, sekitar 13km untuk tiba di lokasi Wisata Gua Sarang.

Tak jauh dari loket gerbang parkiran, sudah disambut dengan pemandangan laut yang sangat indah. Ada warung dan beberapa kursi untuk menikmati pemandangan laut dengan lekuk-lekuknya dari atas. Sehingga semakin tak sabar untuk melihat ke bawah. Dari pintu masuk, jalanan menurun melalui tangga buatan sampai ke bawah di bibir pantai. Tekstur pantainya berupa batuan-batuan besar. Jalurnya melewati batu-batu besar tersebut, menyisir pantai ke arah kiri sampai ketemulah guanya. Sebenarnya banyak cekungan-cekungan gua di bawah. Akses antar guanya bisa berjalan melalui air laut semata kaki, atau bisa juga berenang. Namun yang lebih menarik perhatian adalah adanya gundukan-gundukan bukit kecil mirip seperti milik Raja Ampat, cuma jumlahnya tidak sebanyak di Raja Ampat. Ternyata ada mininya Raja Ampat di pulau Weh. Indonesia memang istimewa.

Sebelum kembali ke kampung Iboih, mampir ke kota Sabangnya. Ingin tahu suasana kota yang dikelilingi laut tersebut. Ada sebuah cafe yang menarik perhatian di sudut jalan. Saatnya istirahat sejenak dan mencicipi kopi Aceh lagi.

Dengan mengendarai motor, kembali ke kampung Iboih hanya mengandalkan papan penunjuk jalan, tidak sempat buka GPS, alhasil rutenya memutar, sehingga berangkat dari sisi barat, pulangnya dari sisi timur. Benar-benar keliling pulau jadinya. Sampai di resort sudah sore. Menghabiskan waktu sebelum gelap dengan bermain di dermaganya resort. Air lautnya jernih. Ditambah ornamen tangga besi yang dipasang di tepi dermaga, seolah menjadikan laut ini kolam renang pribadi yang sangat luas. Dipuas-pusian maen di sana, karena besok pagi sekali sudah harus kembali, untuk mengejar kapal pk. 09.00 pagi dari pelabuhan Balohan, Sabang menuju ke Banda Aceh.

Sampai di pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, bang Roy sudah menyambut. Siap mengantar keliling kota Banda Aceh. Kapal dan museum Tsunami menjadi salah satu yang dituju. Tepat 12 tahun lalu, kejadian tersebut meluluhlantakkan kota. Dan Bang Roy merupakan salah satu saksi hidup atas kejadian tersebut.

Sesaat sebelum tsunami, sempat terjadi gempa, sehingga semua orang sudah panik dan beberapa bangunan sudah roboh kena gempa. Masih belum usai paniknya, dihajar lagi dengan hempaan dan luapan air yang sangat dahsyat, membawa material yang dilewatinya. Dan itu terjadi pada pagi hari, sehingga bang Roy masih terlelap dan terhayut dalam beberapa kilometer, sampai ketika luapan berhenti, terduduk dan tersadar bersama beberapa korban lain di sebelahnya. Dan hal ini menimbulkan trauma yang cukup lama, sampai membuat bang Roy selama setahun tak berani ke pantai dan melihat laut.

Kapal yang dikunjungi hari ini, merupakan kapal PLTD Apung yang terhempas dan terdampar sampai ke pemukiman warga. Beberapa kali relawan asing berusaha mengangkat dan memindahkannya, tapi tak berhasil, sehingga dirapikan dan dijadikan museum saja hingga saat ini.

Beda lagi dengan museum Tsunami, rancangan arsitek Ridwal Kamil, yang didirikan tahun 2009, merupakan bangunan berisi replika dan kenangan terhadap peristiwa tsunami. Dari dekat loket masuk, memasuki lorong gelap seperti gua air yang tinggi dengan bunyi dentuman menyerupai suara gemuruh ketika sesaat sebelum tsunami. Di ruang lain, terdapat sumur doa. Sebuah ruangan dengan atap berbentuk parabola, dii sekeliling dindingnya tertuliskan 4.000 nama-nama korban tsunami.

 

Selain sebagai museum untuk peringatan, bangunan ini juga dirancang sebagai tempat perlindungan, jika terjadi becana semacam ini di masa depan.

Tidak berlama-lama terlarut dalam peristiwa tsunami, akhirnya bang Roy ajak ke pantai Lampuuk, sisi barat Banda Aceh. Tidak terlalu jauh dari kota, sekitar 1 jam saja, sudah sampai ke area pemukiman warga memasuki arah pantai. Lanjut bercerita, perumahan disana adalah bantuan dari negara asing untuk membangunkan rumah-rumah baru bagi warga Aceh untuk tinggal. Rumahnya tersusun rapi, dengan tanaman berjajar rapat. Semenjak hal tersebut juga, Aceh mulai menerima dengan baik kedatangan orang dari luar Aceh.

Masuk ke area parkiran pantai dengan pasir putih sedikit kekuningan. Di depan tampak lautan dengan ombak menghempas, sementara di sisi kanan berupa tebing tinggi, dan beberapa kamar resort.

Menurut bang Roy, tebing-tebing di sana juga merupakan salah satu saksi sejarah tsunami. Bukitnya yang dulu serba hijau, saat ini terdapat bekas hempasan air laut, sehingga terkikis dan tinggal batuan berwarna kuning kecoklatan. Dan kikisan tersebut cukup tinggi, karena tsunami yang dulu terhempas bisa sampai 20 meter.

Sampai saat ini, area melengkung di ujung pantai ini dilarang digunakan untuk berenang atau main air, karena ombaknya cukup besar.

Jika jalan terus ke sisi kiri, ombak lebih tenang dan aman untuk digunakan bermain.

Terdapat beberapa deretan warung yang menyediakan ikan bakar segar. Cocok untuk menu makan siang hari ini. Dan disinilah kuliner terakhir saya di Banda Aceh, sebelum pulang kembali.

Setelah kenyang, saatnya mengenang semuanya dan menyimpan janji untuk datang kembali, menilik sisi lain kota Aceh dan pulau Weh yang belum sempat terkunjungi.

based on our journey on 24 – 27 Dec 2016

 

has published @ Harian Surya, 4 March 2017 & Tribun Jateng, 9 March 2017

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *