Badai, Pelangi dan Sunrise di Gunung Kerinci, 3.805 mdpl

Udara masih dingin dan langit masih gelap saat rombongan kami sudah mulai sibuk berbenah dan siap beranjak meninggalkan basecamp Jejak Kerinci, di desa Kersik Tuo, untuk mengejar mimpi kami bersama, menapak di gunung dan puncak Kerinci. Ibu asuh kami di basecamp sudah menyiapkan sebungkus nasi untuk bekal makan siang nanti. Beberapa yang terbiasa makan berat di pagi hari, menyempatkan diri untuk sarapan subuh mengisi energi.

Kersik Tuo yang merupakan desa terakhir menuju ke Gunung Kerinci ini dikelilingi oleh perkebunan teh, dengan udara yang sangat sejuk, bahkan cenderung dingin sepanjang hari. Jika dari Padang, membutuhkan waktu 8 jam perjalanan darat menuju desa ini. Jika dari Jambi, membutuhkan waktu lebih lama, yaitu 12 jam perjalanan, namun tiket pesawat dari Surabaya cenderung lebih murah dari Jambi, sehingga kami semua lewat Jambi.

Jumlah rombongan kami 13 orang, berasal dari Surabaya, Malang, Jakarta dengan berbagai profesi dan usia. Peserta paling muda adalah Fani, 15 tahun dan yang tertua adalah Pak Hanafi, papanya Fani yang sudah menyentuh kepala lima. Mereka sekeluarga merupakan penikmat alam, bawah laut maupun gunung. Sementara rombongan utama adalah dari Group Rinjaniholic, yang merupakan pecinta alam, suka naik turun gunung sambil bersih-bersih gunung. Dan saya sangat senang, karena adanya mereka, membuat pendakian kali ini cukup riuh, tidak jalan sendiri, menyepi seperti biasanya. Ini juga berkat Nadia, teman traveling saya biasanya, yang akhirnya rela memilih menghabiskan liburan panjang Lebaran dengan mencicipi gunung, bukan pantai seperti biasanya. Dan ini perdana buatnya, menyentuh lereng gunung, apalagi kalau bisa sampai puncak.

Di hari kedua Lebaran, sudah mulai banyak rombongan lain yang juga bersiap untuk muncak. Awalnya kami berencana untuk melakukan pendakian sebelum Lebaran, namun porter yang tersedia cuma 2 orang saja. Sementara petugas basecamp Jejak Kerinci menyarankan jumlah perbandingan untuk pendaki : porter = 4 : 1 demi menjaga keamanan bersama, terlebih rombongan kami didominasi oleh kaum hawa. Bukan under estimate kemampuan para wanita perkasa ini, namun jalur Kerinci memang istimewa, sehingga memang perlu saling menjaga dan mengingatkan. Alhasil total porter yang bersama kami adalah 5 orang, 3 orang untuk membawa perbekalan dan tenda kami, sementara 2 porter lainnya khusus untuk membawakan barang dan mendampingi Fani dan Nadia.

Pagi itu, sekitar pk. 05.30 pagi, ketika embun masih menempel di dedaunan perkebunan teh, ransel-ransel sudah siap dipanggul masing-masing untuk mulai melangkah ke Pintu Rimba, gerbang awal jalur pendakian ini. Tak lupa berdoa kepada Sang PenciptaNya untuk minta restu dan mohon kelancaran atas perjalanan ini.

Rombongan dibagi, di depan dipimpin oleh pak Benny untuk team pemula, kemudian disambung sisanya, dan terakhir adalah Bram, yang menjadi sweeper.

Jalanan dari Pos 1 sampai ke Pos 3 didominasi oleh hutan tropis dengan pijakan tanah yang landai. Sesekali tampak akar besar di jalanan, yang menjadi pijakan langkah kami. Setiap pos masih tertera papan penanda dan sebentuk rumah tanpa atap. Hampir semua atap di pos Kerinci ini terlepas, tanpa tutup. Berharap ada sedikit anggaran dana untuk memperbaikinya, sehingga lebih nyaman untuk para pendaki. Sumber air ada di Pos 3 dan Shelter III.

Sebelum pendakian, kami sempat diingatkan oleh para pendamping di basecamp, di antara jalur Pos 3 menuju Shelter I, terdapat area dimana kita dilarang untuk berhenti untuk makan, foto-foto atau buang air, karena ada sebuah pohon “keramat” dengan lubang besar membentuk gua di batangnya. Salah satu penandanya adalah terdapat pohon tumbang dengan coretan pilox merah di dekat pohon keramat tersebut. Percaya atau tidak, sebaiknya memang tidak coba-coba, karena terkadang alam memang punya rahasianya sendiri.

Jalur paling istimewa adalah dari Shelter II ke Shelter III. Medannya berupa lereng patahan yang cukup curam, dimana membuat kita harus melewati celah patahan tersebut. Terlebih lagi, saat rombongan kami lewat, hujan deras sedang turun sore itu, sehingga cekungan patahan langsung menjadi aliran air yang deras dari atas. Kaki dan tangan harus sama-sama kuat menahan beban badan ini. Kerja team juga sangat diperlukan untuk bisa saling membantu melewati medan seperti itu.

Dan akhirnya, tiba juga di Shelter III, dengan badan menggigil, sementara hujan masih belum berhenti juga. Semua masuk ke tenda dan berganti dengan baju kering. Badan masih malas bergerak karena saking dinginnya, sehingga tugas piket masak sore ini, saya pending sesaat, meski saya tahu, semua perut pasti sudah mulai merintih.

Suara deru angin masih sangat kencang di luar, namun hujan sudah berhenti. Mas Wawan, salah satu porter kami, mengajak saya keluar tenda. Enggan rasanya, karena udara masih sangat dingin, namun setelah mengintip keluar tenda, saya pun menguatkan tubuh, karena ada dua pelangi yang sangat istimewa sore itu. Pelangi dengan diameter yang sangat besar, sehingga tampak seolah vertikal saja di langit. Mungkin buat anak kota seperti saya, hal seperti ini merupakan momen langka, terlebih karena bentuknya yang hampir vertikal saja, tidak ada lengkungan seperti pelangi pada umumnya dan saya bersyukur bisa mengabadikannya. Saatnya mainkan kamera, meski dengan jari-jari tangan yang gemetar.

Karena hujan sudah reda, akhirnya saya dan Ayuk mulai menyiapkan makan malam, berupa nasi dan sayur sup sosis plus telur dadar. Sudah ga jamannya donk, pendaki makan mie instant, hehehehe…. Selamat makan Indonesia…

Tenda berembun basah, sempit dan udara dingin membuat tidur tidak begitu nyenyak, namun putaran waktu sudah mulai mengusik kami untuk segera bersiap menuju puncak. Sepatu yang basah, membuat enggan melangkah. Terpaksa kaki dibalut dengan kaos kaki kering plus kresek, sebelum sepatu dipakai.

Senter-senter kami sudah menyala, mengarahkan jalan menuju puncak. Dingin sudah mulai berkurang ketika nafas mulai berpacu dengan jalur penuh tanjakan ini. Sedikit terlambat, sehingga sunrise muncul saat kami semua masih di lereng menuju puncak, namun justru cantik untuk foto-foto di sana. Dari lereng tersebut, tampak Danau Gunung Tujuh, yang dikelilingi rimbunnya warna hijau plus sekumpulan awan mengambang di sekitarnya. Nikmatnya mata ini, dimanjakan dengan pemandangan seperti ini.

Dan tak lama kemudian, tibalah kami di puncak 3.805 mdpl, atap Sumatra, gunung berapi tertinggi di Indonesia.

Dua setengah jam bukanlah hal yang mudah untuk menuju puncak, tapi bukan pula hal yang sulit, jika kita mampu mengolah hati dan niat ini, karena niatlah yang dibutuhkan untuk membakar semangat kita. Dan suara teman-teman adalah kompornya, sehingga tapak langkah tidak pernah mati.

It is not the mountain we conquer, but ourselves – Edmund Hilary

 

jalur pendakian :

  • Pintu Rimba – Pos 1 (Bangku panjang) = 30 menit
  • Pos 1 – Pos 2 (Batu Lumut) = 30 menit
  • Pos 2 – Pos 3 = 45 menit
  • Pos 3 – Shelter I = 100 menit
  • Shelter I – Shelter II = 30 menit
  • Shelter II – Shelter III = 4 jam 30 menit
  • Shelter III – Puncak 2.5 – 3 jam
  • turun 6 jam
based on our journey on 7 – 8 July 2016

 

has published @ Harian Surya, 27 August 2016 & Tribun Jateng, 8 Sept 2016

 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *