Diracun Foto Macro Bawah Laut @ Selat Lembeh

Sejak belajar menyelam, akhirnya menemukan banyak teman penggila diving yang selalu mencari laut untuk sekedar “membasahi insang” dan melihat pemandangan atau ada juga yang sengaja hunting foto bawah laut. Seperti Gaby dan Teddy dari Sorong, yang pengin banget hunting foto makro di Selat Lembeh. Mereka memberikan penawaran trip diving bareng selama 3 hari. Paket yang ditawarkan adalah Rp. 1.400.00,- per hari termasuk diving 3 kali sehari plus kapal, penginapan dan makan. Setelah mencari tahu tentang lokasi yang akan dituju serta mengatur jadwal liburan, akhirnya say yes untuk join liburan ini.

Selat Lembeh, dimanakah itu ? Untuk penggila foto bawah air, akan sangat mengenal lokasi ini, karena Selat Lembeh dikenal sebagai tempat terbaik di dunia untuk hunting foto hewan laut dengan ukuran sangat kecil bahkan sampai ukuran 1 cm. Dari sinilah julukan “The Mecca of Macro Photography” melekat pada Selat Lembeh.

Selat Lembeh berada antara kota Bitung, Sulawesi Utara dan pulau Lembeh. Beda dengan beberapa tempat penyelaman yang banyak karang dengan terumbu padat menempel di dinding karangnya seperti di Raja Ampat. Kondisi bawah laut di Selat Lembeh didominasi pasir, bahkan pasir hitam atau disebut muck dive. Namun di hamparan pasir tersebut, menyimpan jenis biota makro yang terlengkap di dunia. Di kedalamanan 15 -25 meter, kita sudah bisa bertemu dengan berbagai hewan unik, seperti nudibranch, frogfish, lionfish, scorpion fish, crab, octopus, sea snake, sea horse, pygmy dan masih banyak lagi. Perairan sepanjang 16 km dengan lebar 1-2 km ini memiliki setidaknya 88 lokasi titik selam, sehingga seminggu pun tak akan habis kita datangi semuanya. Sungguh kaya dan luar biasa istimewa. Sayangnya karena selat ini berada di deretan tepian penduduk, masih perlu penanganan dan kesadaran lebih dari masyarakat sekitar maupun pendatang untuk tetap menjaga kebersihannya, sehingga tetap terjaga kelestariannya.

Dan tibalah saat yang ditunggu, berlibur bersama ke perairan Selat Lembeh. Meeting point kami adalah di kota Manado. Supaya memampatkan jadwal cuti, maka diambillah jadwal pesawat terakhir dari Surabaya, terbang selama 3.5 jam di udara. Karena sempat delay cukup lama, maka pk. 01.00 dini hari baru tiba di Manado. Langsung dijemput di bandara international Sam Ratulangi untuk menuju kota Bitung. Dan ternyata, surprise… Pesertanya bukan hanya Gaby dan Teddy, ada juga Andrew dari Sorong juga, jadi total kami berempat, plus dengan Ken, si Dive Master yang akan jadi guide kami selama 3 hari penyelaman ini.

Ah, minder jadinya, karena ketiga teman ini merupakan para penyelam berpengalaman plus perlengkapan kamera bawah air yang sangat menunjang. Jadi merasa paling cupu. Saya? Hanya berbekal kamera pocket seadanya (saat itu masih pakai Canon Powershot D30) dan tetap nekad menjajal bawah laut yang isinya makhluk kecil semua. Kalaupun nantinya kamera belum sempat menangkap momen, mata dan otak tetap akan merekam selamanya. Komentar mereka hanyalah ngomporin untuk ikutan koleksi kamera dan perlengkapannya macam mereka. Baiklah, nabung dulu, suatu hari nanti pasti terbeli. Nah, kalau Gaby sempat khawatir, saya bakalan bosan, karena tidak ada pemandangan indah semacam hutan bawah laut, isinya cuma pasir dan hewan kecil yang “berserakan” dimana-mana. Tapi dia menambahkan, “Setidaknya mencoba hal baru, nanti baru menentukan, bakal suka wide angle atau macro.” Baiklah, apapun yang baru, buatku pasti menarik, jadi tenang saja Gab 😀

Obrolan dini hari, tak terasa sejam bertukar cerita, sampai akhirnya tiba juga di Bitung. Tidak banyak penginapan di kota Bitung ini. Wisma Pelaut adalah salah satu yang cukup bagus dan paling dekat dengan pelabuhan. Kami langsung merebahkan diri untuk istirahat, karena pagi hari sudah akan memulai penyelaman pertama kami.

– foto diambil esok paginya –

Dive Hari Pertama

Belum cukup rasanya istirahat, sudah harus bangun untuk sarapan dan bersiap untuk berangkat. Meski lelah, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Tidak lama, kami sudah siap naik mobil untuk menuju ke pelabuhan.

Selat Lembeh punya dua sisi penyelaman, di deretan kota Bitung dan sisi satunya lagi di deretan pulau Lembeh. Selama 3 hari penyelaman, titik yang dipilih adalah daerah selat di deretan Bitung. Hari pertama ini akan hunting foto di Nudi Falls, Teluk Kambahu (TK) dan menjelang gelap akan hunting mandarin fish.

Rata-rata kondisi lautnya tidak terlalu berarus, namun visibility tidak terlalu bagus. Pada musim tertentu, seperti bulan Agustus, air lautnya akan terasa dingin. Untung saat kami datang, air lautnya tidak terlalu dingin. Namun hal ini berpengaruh pada biota yang kami lihat. Ketika air dingin, hewan lautnya cenderung naik, sehingga lebih banyak makhluk air yang bisa ditemui. Dengan kondisi saat ini pun, kami sudah bahagia, masing-masing sudah sibuk dengan kameranya.

Di setiap selesai penyelaman, kami berempat selalu menyantap nasi dan lauk masakan Padang plus aneka jajanan. Mulut tidak berhenti mengunyah, sambil saling pamer hasil foto yang didapat di bawah air. Senang mendengar mereka bertiga berceloteh dengan logat Sorongnya yang khas. Kopi dan teh panas selalu tersedia untuk menghangatkan tubuh kami yang basah.

Dan menjelang gelap, kami berempat diposisikan masing-masing menanti mandarin fish. Tidak sekedar mandarin fish yang seliweran, namun kami menantikan momen mereka kawin. Kalau sampai dapat memotret moment itu, pasti istimewa hasilnya. Sayangnya kamera yang terbatas tanpa tambahan cahaya, tak mampu mengabadikan moment itu. Jadinya ngeliatin mereka motret aja. Hehehehe…

Selesai menyelam, kami kembali ke penginapan untuk istirahat, menanti dive hari kedua. Membayangkan 3 hari bakal diving 3 kali sehari, ingin rasanya mengundurkan diri pada hari ketiga dan berencana eksplorasi daratan kota Bitung dan sekitarnya. Namun teman-teman merasa sayang jika ada spot yang bakal saya lewatkan, ah kompoorrr…. Ken juga bersedia untuk nambah trip mampir ke Tardurusa untuk melihat tarsius. Jadilah ikutan terus selama 3 hari dengan mereka, bergaul dengan ikan dan lautan.

Masuk ke kamar dan lanjut curhat dengan Gaby. Masalah utamaku hari ini adalah setelah 45 menit penyelaman, udaraku selalu tersisa 50 bar, yang artinya sudah harus bersiap naik. Sementara ketiga temanku, masih sibuk ambil gambar, jadi merasa ga enak kalau memaksa mereka ikutan naik, padahal masih sedang seru-serunya. Akhirnya Gaby memberi tips, agar mencoba menyadari nafas dengan ritme yang teratur. Mereka juga terbantu, udara yang dihabiskan lebih sedikit, karena lebih banyak diam dan fokus untuk ambil gambar, sementara aku masih sibuk mondar-mandir ngliatin mereka bertiga, pencilakan dalam laut. Besok akan dicoba untuk lebih cool dech, hehe…

– diajak hunting macro, hasil fotoku masih wide angle aja, karena belum tahu apa yang harus difoto dan bagaimana –

Dive Hari Kedua

Tetap saja merasa ogah bangun pagi, tapi karena nantinya toh nyebur ke laut, jadi tidak perlu mandi, cukup sarapan dan bersiap berlayar lagi. Nudi Retreat salah satu tempat favorit untuk penyelaman di hari kedua ini. Ternyata arusnya lebih kencang daripada dive hari pertama, sehingga agak kesulitan ketika harus bertahan diam untuk mengambil foto. Penyelaman berikutnya di Jahir dan Police Pier, kondisinya sama, cukup berarus. Ketiga teman lainnya sudah terbiasa sepertinya dengan arus, apalagi mereka didikan alam Papua. Sepertinya memang perlu nambah jam selam supaya lebih terbiasa.

Setiap usai penyelamanan, lagi-lagi mereka saling pamer hasil foto yang didapat, sementara aku, terdiam sambil tolah toleh. Nama critternya saja belum hafal saat itu. Kalaupun lihat saat mereka ambil gambar di laut, kadang masih bingung, mana yang muka, mana yang ekor. Jadinya asal jepret, hewan-hewan yang masih kasat mata saja. Tapi, karena hari ini sudah berhasil nyaman dengan urusan nafas, akhirnya mulai pengin belajar memaksimalkan kamera. Gaby mulai utak-atik kameraku, dan mencoba, sekecil apa benda yang mampu ditangkap. Ternyata, not bad kameranya, sehingga dia menyarankan mencobanya lagi besok, untuk mengambil gambar hewan yang lebih kecil dan mencoba fokus. Ah siyapppp….

– jeprat – jepret sebisanya dan belum hafal nama critternya –

Selama berlayar di hari kedua ini, sempat melihat monumen Trikora dari jauh dan memotretnya. Sayang tidak sempat mampir langsung ke lokasinya. Monumen ini dibuat untuk memperingati peristiwa bersejarah perebutan kembali Irian Barat oleh Indonesia dari tangan penjajah Belanda. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, pemerintah mulai mengambil alih semua wilayah Hindia Belanda dari tangan Belanda, termasuk Papua. Namun pemerintah Belanda justru menyiapkan Papua sebagai negera merdeka, yang berdiri sendiri di luar Indonesia. Pemerintah Indonesia tentu menentang hal ini dan berusaha membebaskan Irian Barat dari penjajahan belanda melalui tiga perintah umum yang dikenal dengan Trikora (Tri Komando Rakyat), yaitu : gagalkan pembentukan “Negara Papua“ yang akan dibentuk kolonial Belanda, kibarkan bendera Indonesia (Sang Merah Putih) di Irian Barat dan menyiapkan mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia. Saat ini, mungkin tidak banyak orang yang mengenal, bahkan mengetahui eksistensi monumen tersebut, padahal monumen ini merupakan salah satu penghormatan terhadap pahlawan bangsa yang mempertahankan kedaulatan Indonesia. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat akan sejarahnya ?

Malam harinya, kami makan malam di deretan kuliner pasar tua kota Bitung. Berjajar beberapa depot, dimana kebanyakan menjajakan ikan segar yang siap dipilih dan dimasak aneka rasa. Tak tega juga melihat ikan-ikan segar ini disantap, padahal tadi kan melihat mereka seliweran di laut, namun rasa lapar mengalahkan segalanya. Selamat makan…..

Dive Hari Ketiga

Kalau kemarin mulai jenuh dengan acara penyelaman terus, hari ketiga ini justru merasa enggan untuk pulang, karena mulai menikmati aktivitas bangun pagi, nyebur laut, makan, nyebur lagi, makan lagi dan nyebur lagi, tanpa perlu mikirin segala rutinitas hidup di kota besar.

Sampai 3 hari penyelaman ini, semua kamera isinya foto hewan bawah laut melulu, sehingga di akhir penyelaman ke-9, kami berempat menyempatkan foto bareng di bawah laut.

Tiga hari tidak cukup untuk menjelajah semuanya, mungkin baru sepersepuluh bagian dari Selat Lembeh ini. Tapi memang terbukti, bahwa di sinilah surganya hewan makro. Apalagi yang baru dalam dunia macro sepertiku, terkagum dengan berbagai model dan bentuknya. Dari yang mudah terlihat, sampai yang harus ekstra jeli ketika melihatnya. Lucu dan unik. Puas tentu saja, tapi suatu saat pasti akan kembali lagi untuk mencicipi titik-titik penyelaman lainnya. – akhirnya, inilah hasil foto macro pertama, masih banyak foto critternya yang diambil dari atas –

Land Tour

Sebelum kembali ke kota Bitung, seperti janji Ken, kami dibawa mampir ke Tandurusa untuk mengintip tarsius. Untuk menuju ke sana, bisa lewat jalan darat dari kota Bitung atau bisa juga lewat laut, berhenti di dermaganya. Tiket masuk Taman Nasional sebesar Rp. 40.000,- . Di sana terdapat satu kandang tarsius dan beberapa kandang hewan lain seperti monyet, burung, ayam, ular dan buaya.

Tarsius, monyet terkecil di dunia, dengan ekor yang sangat panjang dan memiliki mata yang besar. Alaminya, tarsius cenderung hidup di malam hari. matanya yang besar ini sangat peka dalam kegelapan, untuk menangkap mangsanya, seperti kecoa dan jangkrik. Kepalanya dapat berputar sampai 180 derajat seperti burung hantu. Tarsius hidup di pohon, dan berpindah tempat dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Tarsius tidak dapat berjalan di atas tanah, sehingga mereka tetap melompat ketika berada di atas tanah. Saat ini tersius semakin langka, tersisa di daerah Sulawasi dan Filipina saja.

Di dekat kandang tarsius, tersedia jangkrik-jangkrik hidup di botol, yang disediakan untuk makanannya. Kita bisa memancing mereka bergerak dengan memberi cemilan jangkrik buat mereka di sore hari. Ukurannya benar-benar kecil dan mukanya lucu dengan mata melotot. Mereka cenderung bergelantungan di dahan pohon yang tinggi.

Di kandang lain, ada juga beberapa monyet, yang lincah dan cukup nakal. Sehingga hati-hatilah jika ingin memotret mereka dengan menggunakan handphone atau kamera kecil, karena rongga jeruji kandang mereka yang cukup besar, membuat leluasa tangan si monyet untuk merebut kamera tersebut, memainkannya dan kemudian membantingnya. Nah loh… Kata penjaganya, sudah banyak korbannya. Jadi lebih baik, jaga jarak aman saja.

Dan tibalah saatnya meninggalkan kenyamanan kota Bitung untuk kembali ke kota Manado. Setibanya di Manado, kami masih sempat mampir dan nongkrong menikmati malam di jembatan Boulevard sambil mengunyah pisang epe dan jagung bakar. Pisang epe adalah pisang bakar yang diberi lelehan gula merah dan parutan kelapa. So yummie….

Keesokannya masih ada waktu untuk kuliner masakan khas Manado sebelum bertolak ke kota masing-masing. Deretan kuliner di Tinutuan, Wakeke menjadi pilihan kami untuk mencicipi bubur khas Manado. Plus gorengan ikan nike dan tahu rebus menjadi lauk pelengkap siang itu. Nikmatnya….

Btw, thank you Gab, sudah memberikan racun nikmat, mengenalkan dunia macro, yang akhirnya membuat ketagihan dan jadi penasaran untuk belajar memotret hewan unyu tersebut.

Pelajaran tentang foto bawah laut berlanjut, saat diajak Gaby ikutan Workshop Underwater Photography di Lembeh pada 24-28 Mar 2017.

based on our journey on 9-13 April 2015

has published :

  1. Harian Surya, 24 & 31 Mei 2015
  2. Tribun Jateng, 7 & 14 Mei 2015
Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *