Balada Stroberi

Kisah ini paling menyiksa buatku. Perjalanan pulang dari Bali ke Surabaya melalui jalur darat dengan mobil. Bukan masalah jarak dan waktu karena pilihan transportasi tersebut. Tapi karena saat itu, aku diare sepanjang perjalanan, sehingga setiap melihat pom bensin atau supermarket yang ada toiletnya, aku minta berhenti.

Obat diare tidak mempan. Keringat dingin terus bercucuran. Teman-teman sepakat untuk mengantarku ke IGD, setibanya di Surabaya nanti.

Seorang pria muda yang berjaga subuh itu langsung memeriksaku. Kemudian bertanya, “Habis makan apa saja? Atau keracunan sesuatu?”

Kujawab, “Habis dari Bali sama teman-teman. Makan normal, dan makanan yang kumakan sama dengan mereka.”

“Oh, mungkin perutnya tidak cocok dengan makanan luar. Tidak terbiasa jalan-jalan dan jajan luar, jadi perutnya kaget,” sambung dokter.

Duch, yang ada, aku yang kaget sekaligus “cegek” dengan pernyataannya. Bertahun-tahun kemana-mana, nyobain segala macam kuliner, tapi tidak pernah ada masalah. Ya udahlah ya, yang penting terima resep, dapat obat, terus segera ngacir.

Setelahnya, teman-teman masih ngajak mampir sarapan sate Ondemohen, sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di situ, aku mencoba mengingat-ingat, makananku yang mana, yang beda dengan mereka.

Ouch, stroberi jawabnya.

Jadi, setibanya di Bali, seorang teman beli dua pak stroberi. Setelah diicip, ternyata asam banget. Ditawarkan seisi mobil, tidak ada yang mau. Aku yang rakus dengan segala jenis buah, menghabiskan semuanya sendiri hari itu juga.

Malamnya, aku bersyukur, karena merasa pencernaanku begitu lancar. Tapi hari berikutnya, intensitasnya malah meningkat, bahkan saat perjalanan pulang, diarenya sudah parah, sudah dalam bentuk cairan.

Teka-teki terjawab sudah. Karena hasil diagnosa : tidak terbiasa jalan dan jajan luar, sungguh menusukku. Balada stroberilah jawaban sesungguhnya.

 

BTS my journey – series 6

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *