Pelosok Indonesia tidak akan pernah habis dijelajahi. Apalagi, kalau perginya hanya mengandalkan tanggal merah dan jumlah cuti yang terbatas. Ga masalah, dicicil dikit-dikit. Yang terlintas saat akhir tahun 2018 itu adalah menyepi dan menikmati kekayaan budaya di Kalimantan, bertemu dan berinteraksi langsung dengan masyarakat Dayak. Teringat seorang teman yang merupakan salah satu tour operator di Kumai, bang Yomie, sehingga kontak beliau dan minta ditemani untuk bertualang di sana. Semakin alami dan jarang dikunjungi, bakal semakin menarik, itu requestku.
Berdasarkan hasil diskusi singkat, maka akan diputuskan untuk singgah di beberapa desa dan menjelajah Bukit Sebayan. Bukit ini tidak terlalu tinggi, tapi jalur yang harus dilalui adalah hutan hujan tropis, sehingga yang terbayang adalah kelembaban yang cukup tinggi. Bang Yomie berpesan untuk memakai sepatu sandal saja ketimbang sepatu gunung, karena nantinya akan melewati beberapa sungai. Selebihnya adalah menyiapkan untuk perlengkapan pribadi seperti obat-obatan dan jas hujan serta obat nyamuk.
Suku Dayak sebenarnya tersebar di beberapa tempat di Kalimantan. Saat ini yang akan dikunjungi adalah suku Dayak Tomun, yang menempati sekitaran sungai Lamandau, sepanjang perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Jalur terdekat adalah terbang menuju ke Pangkalan Bun. Banyak pilihan penerbangan menuju Pangkalan Bun, tapi sebaiknya pilih yang paling pagi, sehingga bisa langsung melanjutkan perjalanan setibanya di sana. Pilihan transportasi darat selama di Pangkalan Bun adalah bus umum atau sewa kendaraan. Kalau ingin singgah di beberapa desa dan tempat, memang sebaiknya sewa kendaraan saja dan patungan.
Cerita perjalanan hari pertama, skip dulu. Sudah tidak sabar pengin berceloteh tentang bukit keramat itu.
Setelah sarapan, perjalanan dilanjutkan menuju desa Hulu Jojabo, desa terakhir sebelum pendakian ke Puncak Bukit Sebayan. Sebelumnya sempat mampir ke warung untuk membeli bekal makan siang untuk di hutan, karena kemungkinan baru punya waktu memasak saat sore hari.
Sampai di desa Hulu Jojabo, saya memperkenalkan diri dan menyampaikan niatan untuk menuju ke puncak Bukit Sebayan. Bukit Sebayan ini masih dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para roh leluhur mereka, sehingga masih dibilang keramat. Masih sangat sakral buat mereka. Selama niat kita baik, maka alampun akan tetap menjaga kita.
Setelah ngobrol singkat, kami menyiapkan barang-barang yang sekiranya akan dibawa masuk ke hutan, dan beberapa yang tidak diperlukan, bisa ditinggal di desa. Peralatan masak, obat-obatan, jaket, jas hujan dan satu set baju ganti sudah siap dibawa.
Berapapun jumlah pengunjung yang naik, minimal wajib dijaga oleh dua orang pemandu sekaligus pawang dari masyarakat lokal. Sehingga, kami berangkat berempat, saya, Bang Yomie dan dua orang masyarakat Dayak Tomun. Seru kan, jalan-jalan dikawal ama orang Dayak asli, hehehee…
Mereka membantu membawakan barang-barang kebutuhan masak-memasak, sementara kami berdua, membawa keperluan pribadi termasuk air. Tas bawaan mereka adalah dari anyaman, bukan carrier macam pendaki. Sempat iseng nyobain bawa juga, berat guys, hahaha…
Dan perjalanan dimulai dengan memasuki Hutan Muhur. Belum jauh berjalan, sudah terlihat sungai jernih mengalir. Kita berjalan menyusur sungai. Memasuki hutan hujan tropis yang masih sangat lebat. Pohonnya menjulang tinggi dan rapat. Jalanan tanah tertutup dengan daun-daun yang luruh alami. Belum lama berjalan sudah penuh dengan peluh keringat karena saking lembabnya area ini.
Selama perjalanan, banyak sekali ditemui buah-buahan hutan termasuk durian. Tapi bentuknya beda. Ukurannya kecil, dengan kulit berwarna merah. Bagian buahnya juga lebih kecil, tapi rasanya jauh lebih nikmat dari durian biasanya.
Pohon dengan akar besar pun menghiasi pemandangan sekeliling, Sesekali berhenti untuk foto bersama pohon super besar di sana. Burung pun ramai berkicau. Di saat musim buah seperti ini, semuanya hewan di hutan bernyanyi, seolah pertanda begitu riangnya mereka.
Tujuan pertama hari ini adalah menuju pos di tengah hutan Muhur, sebagai tempat start pendakian ke puncak Bukit Sebayan esoknya. Untuk menuju ke sana, kita akan melewati 7 anak sungai. Medannya selalu naik kemudian turun ke sungai, kemudian naik lagi dan turun, begitu seterusnya. Sungai yang diseberangi airnya mengalir cukup deras, sehingga masih jernih dan segar. Medan yang dilalui di sungai adalah bebatuan dan pasir. Di sekitaran sungai, tak jarang kita akan diserang dengan lintah atau pacet. Mereka akan nempel di sekitaran telapak kaki kita. Bisa pakai tembakau atau lotion untuk melepas mereka dari kaki. Jangan kaget jika darah langsung mengucur setelah disedot olehnya, biarkan berhenti alami saja, tidak akan membuat kita mati koq, hehehehe….
Karena medan banyak sungai dan beberapa tanah becek, maka sepatu sandal dan celana pendek akan lebih nyaman digunakan. Pakai pakaian yang tipis dan mudah kering, karena memang kelembaban yang cukup tinggi akan membuat kita mudah berkeringat.
Salah satu bonus dalam perjalanan ini adalah adanya air terjun di hutan Muhur.
Di sanalah kita berhenti untuk makan siang, bekal nasi bungkus dari kota Nanga Bulik tadi. Ditemeni gemiricik air dan suara burung, menjadikan makan siang di alam begitu nikmat rasanya. Beberapa tamu biasanya menikmati sampai di titik sini saja, sehingga buat yang tidak terbiasa mendaki atau menginap di hutan, tempat ini bisa dijadikan jujugan, kemudian bisa langsung kembali lagi ke desa di hari yang sama.
Setelah berisitirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju pos. Setelah lebih kurang 3,5 jam perjalanan dari desa, akhirnya kami tiba juga di pos. Posnya berupa 2 buah bale-bale kayu, dimana salah satunya beratap terpal, bisa digunakan untuk istirahat dan tidur nanti malam, tanpa perlu membangun tenda.
Sesampai di pos, saya langsung berganti baju kering, supaya badan tidak masuk angin, karena begitu gobyosnya terkena keringat selama perjalanan. Sementara bang Yomie sudah menyiapkan air panas untuk minuman hangat sore ini. Dua teman lainnya, mengecek dan membetulkan kayu-kayu di pos, memastikan semuanya aman untuk dipakai istirahat nanti malam.
Akhirnya ketika senja tiba, kami berkumpul menikmati minuman hangat berupa kopi jahe dan jajan gula merah. Suara alam masih riuh ramai menemani kami di sana. Gerimis juga mulai datang. Meskipun musim hujan, kami bersyukur, selama perjalanan, hujan tidak turun, dan baru turun ketika kami sudah nyaman dan tiba di pos.
Menjelang gelap, saatnya untuk memasak nasi dan lauk untuk makan malam. Dan untuk mengusir nyamuk, mereka biasanya menggunakan obat nyamuk bakar. Karena kami tidak bawa, jadilah tempat telur kita bakar sebagai pengganti obat nyamuk tersebut. Cukup efektif lho.
Tidak terlalu larut, kami sudah tidur dan beristirahat, karena besok pagi, kami akan naik ke puncak bukit Sebayan, yang memakan waktu sekitar 2 jam, katanya. Tapi kenyataannya, saya butuh waktu 3 jam, hehehe….
Oh ya, untuk masyarakat Dayak asli, mereka akan berpuasa ketika akan naik ke puncak Bukit Sebayan. Mereka akan makan dan minum lagi setelah turun sampai di pos ini lagi, sehingga yang sarapan, hanya saya dan bang Yomie saja.
Setelah mengganjal perut dengan kentang rebus dan telur ceplok, serta secangkir kopi, berangkatlah kami mendaki. Di sini treknya mulai naik terus tanpa bonus. Kemiringannya mulai terasa. Padatnya hutan masih sama. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi masih menjadi pemandangan di sekeliling kami. Sambil mendaki dengan ngos-ngosan, di sela-sela istirahat singkat kami, mereka sibuk bercerita tentang dongeng yang dipercaya oleh masayarakat Dayak Tomun. Jadinya seru kan…
Di balik cerita mereka, barulah saya diberitahu, bahwa kita harus mendaki dua puncak, yang pertama adalah puncak Sebayan Tongah (=tengah) dan berikutnya puncak Sebayan Bungsu. Masih jauh ternyata perjuangannya. Namun tetap semangat… Lanjut lagi…
Semakin tinggi, maka pohon-pohon besar tidak tertata teratur menjulang ke atas lagi, namun banyak yang miring kanan kiri, seolah mengejar matahari. Jadinya, harus melewati dan melangkahi beberapa pohon. Jarak langkah juga semakin besar, sehingga perlu setengah memanjat.
Semakin ke atas, jenis tanaman yang tumbuh semakin kerdil dan mulai tampak banyak lumut yang menempel di pohon. Lumutnya tebal-tebal menyerupai permadani, menambah keunikan pemandangan di area ini. Jalanan masih berpadu antara tanah lempung, daun basah dan akar-akar pohon yang melintang.
Di beberapa titik, mereka akan melakukan ritual, seolah ijin bertamu dan meminta keselamatan, dengan sedikit membuang tuak, mirip seperti ritual saat di desa Lopus, tapi singkat saja.
Kabut bergelayut manja pagi itu, sehingga semuanya tertutup putih. Namun karena masih rapatnya pepohonan, maka tidak terpotret pemandangan lautan awan ini, hanya mengintip di sela-sela rapatnya pepohonan.
Dan akhirnya sampai juga di Puncak Sebayan Bungsu. Meskipun ketinggian puncak bukit Sebayan Bungsu hanya di kisaran 1.377 mdpl, tapi punya tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Sehingga tetap diperlukan stamina yang prima dan tetap berhati-hati.
Sampai di puncaknya pun, masih rimbun dengan tanaman-tanaman, tidak seperti puncak gunung berapi pada umumnya, yang hanya didominasi oleh bebatuan, tanpa tanaman apapun. Di sini, puncaknya hanya ditandai dengan adanya bendera merah putih. Tidak ada papan nama ataupun tulisan ketinggian, karena memang tempat ini bukan untuk wisata atau jalur pendakian umum. Tempat ini masih disakralkan. Kalaupun digunakan sebagai kunjungan wisata, mereka akan membatasi jumlah kunjungan, supaya semuanya tetap alami, lumut tidak rusak dan sampah tidak menghiasi area ini.
Bagi suku Dayak Tomun, puncak bukit Sebayan ini merupakan tempat doa bagi mereka ketika menyampaikan permohonan. Namun satu kali pendakian, hanya boleh satu doa, sehingga kalau banyak yang diminta, jadinya harus naik lagi.
Kalau ditanya, apakah ada kesan mistis dan sebagainya, tidak sama sekali. Percaya atau tidak percaya dengan setiap ritual yang mereka lakukan, sebaiknya kita menghargainya dan mengikutinya, karena kita bertamu. Keragaman budaya di Indonesia sangatlah heterogen dan ini justru menjadi kekayaan yang tak ternilai dan menjadi daya tarik tersendiri bahkan buat mereka wisatawan mancanegara, maka mari kita menghargai dan menjaganya. Happy traveling….
based on our journey on 27-28 Dec 2018
has published :
- Harian Surya, 13 Jan 2019
- Tribun Jateng, 10 Jan 2019
One thought on “Bukit Sebayan – Hutan Keramat Dayak Tomun”