Saat itu, kami sedang mbolang berdua di negeri orang. Membaca peta (kertas peta bukan google map) sambil berdiri di depan pasar, membuat kami cepat ketahuan sebagai pendatang. Alhasil tukang becak langsung menawari kami naik ke becaknya.
Becak di Vietnam isinya hanya cukup untuk satu orang saja. Sehingga kami mencoba menawar biaya ke destinasi yang ingin kami tuju. Kami deal dengan harga VND15.000 untuk dua orang. 1USD = VND20.000 (catatan 2015). Jadi kala itu uang Vietnam adalah separohnya dari uang Indonesia.
Kami naik dua becak. Tukang becaknya sangat baik, cerita tentang apapun yang kami lewati dan memperingatkan supaya tidak mengeluarkan ponsel atau dompet selama di jalan, karena rawan dicopet.
Setelah tiba, kami difoto berdua di atas becak kami masing-masing. Dan aku sebagai bendahara trip ini, mengeluarkan uang VND15.000 sesuai perjanjian tadi.
Dalam bahasa Inggris, salah satu tukang becaknya berkata kalau itu uang kecil, sewanya bukan segitu. Lalu dia mengeluarkan kertas daftar harga yang sudah dilaminating : VND1.500.000 / each / short trip. Hah?!
Aku langsung bilang kalau tidak punya uang segitu, dan Nadia juga bilang, kalau tadi dealnya kan tidak begitu. Setelah melihat kami marah, maka tukang becak kedua mengeluarkan daftar harga lagi, dengan tulisan : VND150.000 / each / short trip. Lha? Ada list cadangan rupanya.
Setelah berdebat, akhirnya kami terpaksa membayar VND150.000 per orang atau sekitar Rp.75.000 untuk biaya becak dengan jarak tempuh lebih kurang 10 menit saja. Kesal sekali rasanya, karena budget makan sehari terkuras hanya untuk biaya becak.
Dan setelah kami coba browsing, ternyata modus penipuan seperti itu sering terjadi di Ho Chi Minh. Kalau misal turis yang berduit, bisa jadi terjebak dalam nominal VND 1.500.000 atau Rp. 750.000. Traveling ala backpacker memang harus banyak membaca sebagai bekal biar tidak tertipu macam ini.