Sudah menjadi impian lama mengunjungi salah satu perkampungan tradisional Indonesia di Wae Rebo. Kebetulan ada ajakan trip diving di sekitaran pulau Komodo, maka sengaja berangkat duluan, curi start menuju ke Wae Rebo.
Wae Rebo adalah sebuah desa adat terpencil di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Yang menarik dan unik adalah rumah adatnya yang berbentuk kerucut, dengan atap tertutup ijuk. Mereka menyebutnya Mbaru Niang.
Untuk jalur umum, bisa dipilih pesawat Surabaya – Labuan Bajo (NTT) terlebih dahulu. Kadang ada yang tripnya pilih melalui Ende, eksplorasi sisi timur terlebih dahulu, baru ke Wae Rebo.
Menurut catatan perjalanan beberapa teman, pilihan transportasi dari Labuan Bajo menuju Wae Rebo bisa menggunakan kendaraan umum ataupun sewa mobil atau paket tour. Untuk hal ini, sengaja tidak booking apa-apa dari Surabaya, memilih go show saja dan melihat kondisi di lapangan nantinya. Terlebih belum pasti juga jumlah rombongan yang bakal ikut ke Wae Rebo ini.
Siang menjelang sore, tiba di Labuan Bajo, mampir ke tempat pak Condo (CNDive) untuk menitipkan peralatan diving yang akan dipakai sepulang dari Wae Rebo dan ngobrol sekilas tentang akses menuju ke Wae Rebo. Seorang kenalan pak Condo menawarkan paket ke sana menggunakan mobil, seharga Rp. 3.500.000,- untuk trip selama 3 hari. Serasa kemahalan, harga diturunkan menjadi Rp. 2.500.000,- tapi untuk trip selama 2 hari saja. Beliau menjelaskan, perjalanan dari Labuan Bajo menuju ke desa terakhir sendiri memakan waktu 8 jam, kemudian bermalam sehari di Wae Rebo dan mengantar pulang ke Labuan Bajo kembali. Awalnya rombongan berlima, kemudian menjelang hari H pada batal, karena berbagai alasan, terutama terkait pekerjaan, alhasil tersisa dua orang saja, sehingga budget segitu masih terbilang mahal untuk kami.
Pak Condo menawarkan alternatif sewa motor saja, toh kami juga punya cukup waktu untuk bisa jalan santai dan lebih bisa eksplore alam Flores, katanya. Maka dicarikanlah motor sewaan untuk bisa kami pakai selama 3 hari. Cuma Rp. 75.000,- per hari sewanya. Lumayan berhemat banyak, meski harus menyiapkan tenaga ekstra duduk berjam-jam di atas motor bebek hasil pinjaman.
Sisa hari pertama ini akhirnya dihabiskan di Labuan Bajo saja dan memilih jalan esok paginya biar lebih fresh. Cari hotel, letakkan ransel dan langsung meluncur ke cafe Paradise, milik teman. Cafe ini memang terkenal sebagai salah satu spot untuk menikmati sunset di Labuan Bajo. Bule-bule suka duduk berdiam menikmati alam sambil minum jus dan aneka snack. Berbeda dengan kebiasaan turis Asia yang sibuk jepret foto sunset dengan penampakan wajah diri, hehehe….
Menjelang gelap, Bang Maxi, pemilik cafe muncul dan menyambut kami. Seporsi nasi ikan dihidangkan untuk bersantap bersama sambil berceloteh kehidupan Labuan Bajo yang semakin ramai dipenuhi hotel dan cafe sejenis. Sembari ngobrol, kami menyampaikan rencana ke Wae Rebo. Langsung saja, Bang Maxi beritahu jalan pintas lewat jalur selatan, yang hanya memakan waktu 4 jam. Lihat sekilas di peta sambil mengingat rutenya, masuk akal sich kalau lebih singkat, karena jalurnya menembus langsung di sisi selatan. Sementara jalur mobil yang umum dipakai adalah lewat tengah menuju Ruteng, baru turun ke selatan, sehingga sedikit berputar dan menghabiskna waktu 2x lipat. Bang Maxi memastikan motor yang kami sewa, sanggup untuk melewati medan sampai ke desa terakhir. Mengenang pengalaman sebelumnya, perjalanan di Flores ini kan luar biasa bikin ajojing pengendaranya, hehehehe…
Meskipun musik masih ramai mengiringi cafe Paradise, tapi kami pamit pulang, agar besok punya cukup tenaga untuk touring selama 4 jam menuju desa Denge, desa terakhir sebelum trekking menuju Wae Rebo.
Labuan Bajo memang sudah beda dengan 4 tahun sebelumnya saat saya datang. Bandaranya sudah bagus, sudah banyak hotel di sisi kiri kanan jalan utama kota, banyak supermarket dan ATM, sehingga tidak perlu bingung bawa cash dari Jawa. Tapi untuk di pelosok Wae Rebo nanti, memang perlu menyiapkan uang tunai, jaga-jaga susah ATM. Bensin pun harus dipenuhi di kota, khawatir jarak pom bensin berjauhan.
Jalur utama dari Labuan Bajo ke kota berikutnya masih mulus, tetapi jalanan naik turun dan berkelok-kelok. Tak jarang U-turn alias tikungan bentuk U yang cukup tajam diikuti dengan tanjakan atau turunan. Konsentrasi pengendara harus cukup tinggi. Meskipun saya cuma jadi penumpang di belakang, cukup capek juga membawa ransel tinggi di belakang, menjaga agar tetap stabil dan tidak oleng.
Hampir 2 jam akhirnya tiba di Lembor dan tak jauh di depan adalah pertigaan Nanga Lili, dimana kalau lurus adalah menuju Ruteng sementara jalur Nanga Lili adalah jalur melipir melewati selatan pulau Flores. Katanya Bang Maxi sich bisa berhenti mampir-mampir karena alam, laut dan pantainya cantik, masih sangat alami. Karena hari sudah menjelang tengah hari, tidak jauh dari pertigaan Nanga Lili, kami berhenti di warung bakso untuk mengisi perut dan istirahat sejenak. Pemilik warung sangat ramah dan ngobrol dengan kami. Kebetulan anaknya baru saja dari Wae Rebo juga bersama teman-temannya dan menceritakan bahwa jalur ini memang cepat dan lebih bagus daripada jalur yang Ruteng, tapi memang akan ditemui beberapa titik jalan putus, namun masih memungkinkan untuk dilewati. Wah, siap-siap menerima tantangan setelah ini.
Dan benar saja, kami menemui jalur putus pertama, berupa pertemuan muara sungai dan laut, dengan dasar berupa batuan besar dan air setinggi 10-20 cm. Motor coba dilewatkan perlahan, sementara saya turun dan melepas sepatu berjalan tanpa alas kaki. Jalur putus lebih kurang 5 meter saja.
Setelah itu, jalanan mulai hancur sedikit sedikit. Tidak semulus antara Labuan Bajo ke arah Lembor. Tapi, pemandangan laut perlahan mulai tersaji,
sampai akhirnya terlihat satu gundukan pulau, yang mana orang Flores menyebutnya Molas (=artinya cantik). Laut di Flores ini selalu terlihat biru tua dengan langit yang cerah sekali, sehingga mau difoto pakai kamera smartphone ataupun SLR tetap cantik. Pantulan keindahan alam lewat kamera apapun sudah tak perlu diedit lagi.
Ditengah jalan tiba-tiba kami dihentikan rombongan anak kecil. Ternyata di depan jalannya putus lagi, dan mereka memang menawarkan jasa untuk membantu mengendalikan motor. Jadi jalur putusnya kali ini sedikit parah. Menuruni turunan tajam, sehingga anak-anak memegang belakang motor menahan supaya tidak melorot terlalu cepat, kemudian lanjut menembus sungai, sedikit lebih dalam dari rute sebelumnya dengan batu lebih licin, sehingga gampang selip, kemudian naik lagi melewati celah tebing yang mana hanya cukup dilewati satu motor saja. Anak-anak kecil membantu mendorong naik ke atas. Saya di belakang hanya bisa menyemangati mereka dan sedikit was-was, khawatir tidak berhasil lewat. Ternyata setelahnya, banyak penduduk lokal yang lewat jalur sana juga, tapi bedanya, mereka lebih mudah mengendalikan motornya, sudah terbisa dan lebih mengenal medan tampaknya.
Sisa perjalanan menuju desa Denge cukup lancar, meskipun jalanan tetap tidak mulus. Di desa terakhir tersebut sempat membeli bensin dan menanyakan ke penduduk lokal pos terakhir untuk parkir motor dan memulai treking. Benar saja, total perjalanan hanya 4 jam saja, tapi memang medannya khusus untuk motor, mengingat jalanan putus tadi. Kalau bawa mobil, mau tidak mau memang harus lewat Ruteng.
Beberapa motor parkir di lapangan luas dikelilingi pohon rindang. Tapi tidak ada pos jaga ataupun orang yang menyambut kami, sehingga agak bingung dengan jalurnya. Tidak ada warung atau apapun, sehingga perbekalan air kami pun yang sudah menipis harus dicukupkan sampai ke kampung Wae Rebo. Kami juga tidak ketemu guide, dan akhirnya kami jalan sendiri. Ketemu dengan sepasang bule dari Belanda, sehingga nemu teman seperjalanan.
Waktu sudah menunjukkan pk. 15.30 WITA dan kami berharap bisa tiba di desa sebelum gelap. Kata anak tukang bakso sich jalannya cuma 2 jam, tapi saya pesimis dengan diri sendiri, karena dia masih anak SMA dengan badan ceking, sementara saya sudah mulai tambun dengan membopong ransel tinggi. Tetap semangat, sambil ngobrol dengan si bule, tentang perjalanan travelingnya di beberapa lokasi Asia termasuk Indonesia.
Perjalanan kami didominasi hutan tropis, pohon tinggi mengelilingi bukit, dengan tanjakan tiada henti, Sisa air hujan sedikit membuat tanah menjadi liat dan licin, sehingga disarankan memakai sepatu yang nyaman untuk medan sedikit becek. Satu jam dihajar tanjakan tanpa bonus. Tapi setelah satu jam, jalanan mulai bersahabat, tidak terlalu curam.
Sampai akhirnya kami tiba di pos pandang, kami disambut penduduk lokal Wae Rebo dan kami diminta membunyikan kentongan tiap orang, sebagai penanda kedatangan tamu. Dari pos pandang itu, pucuk-pucuk rumah adat Mbaru Niang sudah mulai tampak, dan membuat saya girang, karena sebenarnya sudah lama menahan rasa haus dan lapar.
Tidak jauh dari pos pandang, tibalah kami di gerbang masuk. Anak-anak kecil berlarian menyambut kami, dengan menanyakan “Ada permen?” Ternyata anak-anak kecil di kampung sini sangat suka jika tamunya kasih permen, jadi buat kamu yang mencoba liburan ke sini, bawalah beberapa pemen untuk menarik hati malaikat kecil di sana.
Setelah kami tiba, langsung dibawa ke rumah utama. Penatua akan membuatkan upacara ritual penyambutan, seperti minta ijin kepada leluhur atas kedatangan kami, dan mohon keselamatan atas aktivitas kami nantinya di daerah Wae Rebo ini.
Per group akan diminta sumbangan Rp. 20.000 atas upacara ini. Setelah upacara dan doa selesai, kami boleh foto ruangan ataupun foto bareng penatuanya. Dijelaskan bahwa di rumah utama ini, tinggal beberapa keluarga yang hidup bersama, dengan masing-masing bilik.
Rumah adat ini sudah ada sejak tahun 1920. Bentuk rumah yang mengerucut tersebut merupakan sebuah simbol dari perlindungan dan persatuan di antara masyarakat Wae Rebo. Lantai yang berbentuk melingkar melambangkan sebuah harmonisasi dan keadilan diantara warga dan keluarga di dalam Mbaru Niang.
Nenek moyang mereka mewarisi 7 rumah Mbaru Niang, meskipun tiga dari 7 rumah itu sudah rusak. Pada tahun 2008, ketujuh rumah Mbaru Niang tersebut telah dikonstruksi ulang melalui sebuah program revitalisasi. Pada proses rekonstruksi tersebut, semua proses dilakukan oleh warga Wae Rebo sendiri sehingga tidak ada nilai sejarah dan keasliannya yang dibuang. Proses rekonstruksi ini sangat memegang peranan penting karena adanya transfer ilmu dari warga yang sudah tua kepada warga yang masih muda dimana yang muda-muda ini nantilah yang akan melanjutkan kehidupan di tempat ini dan mempertahankan budaya nenek moyang mereka. Usaha dan upaya warga Waerebo dalam mempertahankan sejarah, budaya dan kearifan mereka ternyata tidak luput dari penglihatan UNESCO. Organisasi tersebut menghadiahkan Desa Wae Rebo sebuah penghargaan UNESCO Asia Pacific Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012.
Tujuh rumah Mbaru Niang yang dibuat oleh para nenek moyang mereka memiliki arti untuk menghormati 7 arah mata angin dari puncak-puncak gunung yang yang mengelilingi Kampung Wae Rebo. Hal itu mereka percayai sebagai cara untuk menghormati roh-roh yang memberikan mereka kesejahteraan.
Rumah adat ini memiliki 5 lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Setiap lantai rumah Mbaru Niang memiliki ruangan dengan fungsi yang berbeda beda yaitu:
- tingkat pertama disebut lutur digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga
- tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari
- tingkat ketiga disebut lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan
- tingkat keempat disebut lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan,
- tingkat kelima disebut hekang kode untuk tempat sesajian persembahan kepada leluhur.
Kami para tamu, punya rumah sendiri di sisi selatan. Rumahnya tidak disekat, seperti aula, dengan kapasitas lebih kurang 35 orang, tidur di matras yang empuk dengan bantal plus selimut. Jadi sebenarnya sia-sia saya bawa ransel tinggi berisi baju hangat, karena semuanya sudah nyaman disediakan di sini. Setelah memilih tempat tidur, kami disuguhi kopi lokal Wae Rebo. Kopi di sini dipetik dan ditumbuk manual dengan tangan oleh warga, tidak digiling dengan mesin, itulah khasnya. Jangan ditanya kalau masalah rasa, mantab punya pastinya. Bule yang bersama kami sangat senang menikmati kopi Wae Rebo ini. Mereke terbiasa menikmati kopi hitam tanpa gula. Buat tamu yang tidak bisa minum kopi, disediakan teh hangat. Air putih juga ada untuk refill selama tinggal di desa tersebut.
Kamar mandinya berada di sisi luar bangunan utama. Ada 3 kamar mandi yang bisa diguankan untuk para tamu. Ada dapur umum juga, yang digunakan ibu-ibu untuk menyiapkan makanan para tamu. Kami akan makan malam bersama pada pk. 19.30 dan sarapan pada pk. 07.00.
Perut sebenarnya sudah lapar, tapi harus bersabar menunggu hidangan disajikan. Mau mandi juga tidak tega dengan badan, karena airnya dingin sekali. Meski sudah penuh dengan peluh keringat saat di jalan, akhirnya saya memilih ganti baju kering dan membasuhnya saja. Jorok kan hanya ada di otak saja to… Hehehehe…
Bersosialisasi dengan para tamu dan penduduk lokal. Bule di sebelah sibuk menceritakan kepada bule satunya tentang indahnya kepingan Indonesia yang pernah dikunjungi dan ramahnya penduduk lokal yang mereka temui, jadi ikutan bangga dengernya. Tuch kan, orang luar saja berburu keindahan Indonesia, kalian kapan ?
Saatnya makan malam tiba. Nasi, sayur dan ayam serta sambal yang menggoda, tersaji di tengah. Semua tamu lahap makan bersama, sambil terus berceloteh tentang perjalanan ke Wae Rebo ini. Seperti malam keakraban rasanya.
Sayang malam itu gerimis, sehingga tidak bisa melihat bulan dengan jelas. Bintangpun tertutup awan. Tapi karena gerimis, udara jadi tidak begitu dingin, cukup sejuk saja. Segar di jiwa, segar di raga.
Pukul 10 malam semua tamu mulai tidur, karena kami semua sepertinya tidak mau melewatkan moment sunrise esoknya. Katanya bakal terbit sekitaran pk. 6-7 pagi waktu setempat.
Pukul 5 sudah bangun, tapi seperti malas bergerak, karena udara masih nyaman untuk dipakai selimutan. Setengah jam berikutnya mulai terang dan saya was-was, ketinggalan momen matahari terbitnya. Segara berjalan keluar, nenteng kamera dan menuju ke arah bukit di barat. Ternyata banyak yang sudah nongkrong menantikan matahari naik dari balik bukit di belakang Wae Rebo. Pas ketika menembus masuk ke arah desa, itulah momen sunrise yang paling cantilk. Tidak percaya? Saatnya melangkahkan kaki kemari.
Kebanyakan warga yang tinggal adalah yang tua dan yang masih kecil. Anak-anak usia sekolah ditempatkan di desa terdekat bahkan kuliah sampai di Surabaya. Setelah lulus sekolah, kebanyakan mereka akan kembali, turut menjaga kampung Wae Rebo, mengabdi sebagai guide dan penerjemah untuk turis dari berbagai negara. Komoditas utamanya adalah kopi dan kayu manis.
Setelah sarapan pagi, banyak tamu yang mulai pulang. Kalau masih ingin tinggal, bisa ikut keliling ke perkebunan kopi mereka. Atau aktivitas trekking di sekitaran sana. Namun karena kami punya trip lanjutan diving, jadi menikmati sampai di sini saja sudah puas dan menjadi kebahagiaan tersendiri. Kalau ingin beli oleh-oleh, tersedia kain tenun khas warna Flores dan kopi bubuk hasil tumbukan warga Wae Rebo.
based on our journey on 8 – 9 May 2017
Has published :
- Harian Surya : 17 Jun 2017 & 6 Aug 2017
- Tribun Jateng : 6 Jul 2017
mau tanya kopinya dijual diluaran ngga?
kayaknya sudah banyak yang jual, termasuk via online 🙂