Angka 22-11 menjadi bermakna ketika para pendaki bersepakat untuk selalu kembali ke puncak Gunung Salak yang terletak di antara Kabupaten Bogor dan Sukabumi, Jawa Barat. Angka itu sesuai dengan ketinggian Puncak Manik. Nah, terkait angka ketinggian 2.211 mdpl tersebut, maka kelompok Napak Tilas Gunung Salak selalu membuat kegiatan pendakian bersama di 22 November setiap tahunnya. Tahun ini adalah tahun ketujuh diadakannya acara napak tilas bersama pendaki se-Indonesia. Oleh karena masih pandemi, kali ini kuotanya dibatasi untuk 50 orang saja, termasuk tujuh orang yang memprakarsai kegiatan napak tilas ini.
tujuh orang yang memprakarsai kegiatan napak tilas
Kecil Cabe Rawit
Dengan ketinggian hanya 2.211 mdpl, bukan berarti mudah untuk didaki. Pendakiannya serasa menggapai 3.000 mdpl. Pendek, tetapi ekstrem.
Belum lagi mitosnya yang angker, pasti mempengaruhi mental para pendaki. Tercatat pada 2012, kecelakaan jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di area Gunung Salak ini, menambah aroma mistis. Seolah memiliki daya magis yang tidak bisa diterima dengan logika. Maka dari itu, masih belum banyak pendaki yang rela menghabiskan akhir pekannya di sini. Mereka lebih banyak memilih mencicipi Gunung Gede atau Pangrango yang sejatinya jauh lebih tinggi daripada Gunung Salak.
Terlepas dari mitos dan mistis, jiwa petualang kami tetap terpanggil untuk mencicipi keindahan Gunung Salak yang berada di area Taman Nasional Gunung Halimun–Salak ini. Pada 2019 lalu, saat napak tilas mereka yang kelima itulah, saya dan Brams mencoba mendaftar dan bergabung dengan acara mereka.
Petualangan ke Barat
Kalau dari Surabaya, lokasi ini bisa diakses melalui Jakarta maupun Bandung. Kemudian dilanjutkan ke arah Bogor atau Sukabumi dan meluncur ke pos Cidahu. Karena berangkat dari kota yang berbeda, Brams memutuskan untuk mengambil titik temu di Bandung. Merayap dengan kereta kami masing-masing, kemudian melanjutkan dengan jasa travel ke arah Sukabumi dan taxi online sampai ke basecamp Cidahu.
Perjalanan panjang selama 17 jam di jalanan, membuatku cukup lelah dan kelaparan Sabtu siang itu. Kami tiba di basecamp saat matahari sudah hampir di tengah, sehingga tertinggal dari rombongan napak tilas yang sudah berangkat sejak pagi tadi. Sebuah warung di dekat Pintu Rimba menjadi tempat berlabuh sementara. Melahap makanan dengan rakusnya, tidak peduli hal lain. Setelahnya baru kami beberes barang bawaan untuk pendakian. Barang-barang yang sekiranya tidak diperlukan, bisa dititipkan di warung.
Pendakian Gunung Salak via Cidahu
Matahari sudah berada tepat di tengah. Ransel-ransel mulai dipanggul. Seseorang di warung sempat memperkirakan, bahwa kami tidak akan keburu untuk tiba di puncak hari ini, mengingat pendakian baru dimulai. Biarlah fisik dan mental yang menentukan, tidak perlu dipaksakan, tetapi tidak juga dimanjakan. Biarlah kerinduan dengan alam yang akan memandu. Sebelum gelap, sampai di mana pun nantinya, kami pasti akan berhenti untuk buka tenda.
Oh ya, banyak mengira nama Salak adalah dari tanaman salak, padahal sebenarnya adalah dari bahasa Sansekerta: “salaka” yang artinya perak. Nah, salah satu pantangannya adalah jangan menanyakan: di mana buah salaknya. Percaya atau tidak percaya, baiknya dituruti saja.
Jalur pendakian di awal masih manusiawi. Belum ditemukan medan yang sulit. Aliran sungai kecil sudah menyambut di awal. Jalanan didominasi tanah liat berbatu, diapit dengan tanaman dan pepohonan yang rapat di kiri kanannya. Medannya masih terbilang landai. Masih bisa ngebut, untuk mengejar rombongan.
Salah Tangkap dengan Penanda
Katanya, puncak ada di “HM50”. Sepanjang jalur pendakian di Gunung Salak ini memang sudah rapi ditandai dengan tulisan HM per 100 meternya. Posisi sekarang sudah di HM26, padahal baru satu jam perjalanan. Bahagia rasanya sudah sampai separuhnya.
Tidak lama terlihat tulisan Pos Bajuri, pos persimpangan untuk menuju ke Kawah Ratu dan menuju ke puncak Gunung Salak. Dan … dari sini merupakan titik nol untuk menuju ke puncak, alias masih 5 kilometer lagi. Papan penunjuk akan menghitung mulai dari 0 lagi sampai 50, sehingga puncaknya ada di HM50S. Bedanya, jalur ke puncak berakhiran dengan S, sehingga kodenya HM1S dan seterusnya. Hahaha … terlanjur sudah bahagia, ternyata perjalanan masih panjang.
Kebetulan hari itu, di Pos Bajuri ada beberapa mahasiswa sedang melakukan penelitian tentang satwa, terutama burung-burung yang ada di area Taman Nasional Gunung Halimun–Salak ini. Mereka sibuk berburu foto. Sambil istirahat sejenak dan menarik nafas panjang, kami pun sekalian nimbrung untuk ikutan hunting.
Tiba-tiba tampak seekor burung berwarna biru yang sedang bertengger di dahan. Ramai-ramai kami coba mengambil gambar. Burung Selendang Biru, begitu nama sebutan yang disampaikan oleh ranger yang mendampingi kelompok mahasiswa di sana.
Pos Bajuri ini merupakan pos terakhir tempat sumber air di jalur pendakian via Cidahu ini. Sebaiknya mengisi ulang cadangan air sekalian di sini.
Melanjutkan Perjuangan
Setelah istirahat sejenak, saatnya melanjutkan perjuangan. Di sinilah jalur pendakian Salak benar-benar terasa, medan yang sesungguhnya. Tanjakan mulai tinggi-tinggi. Serasa tes kekuatan lutut karena harus menapak tinggi. Sesekali tangan harus mencengkeram kuat untuk memanjat, bukan hanya sekedar mendaki. Polisi tidur berupa pohon tumbang seringkali harus kami lewati. Stamina benar-benar diuji. Musim hujan ataupun kemarau, tanah akan selalu basah, cenderung becek sepanjang jalan. Karakter hutan di Jawa Barat adalah hutan hujan tropis yang begitu lembab, sehingga peluh keringat tak henti mengucur saking gerahnya.
Sesampai di titik HM24S, hari sudah hampir gelap, sehingga kami putuskan untuk membuka tenda di sini saja. Saatnya berganti baju yang basah karena keringat, kemudian memasak.
Ah, inilah salah satu yang dirindukan ketika di gunung. Menikmati makan malam di alam, sambil meringkuk kedinginan di ketinggian. Apa pun makanannya, pasti jadi serasa enak. Eits, tetapi cobalah untuk membuat kemewahan tersendiri, dengan menu lengkap, sayur dan lauk yang enak, jangan mi instan melulu. Jangan lupa bekal aneka minuman hangat sebagai penutup malam.
Menggapai Puncak Manik
Alarm berbunyi, saatnya bersiap. Saya kurang terlalu suka berjalan dalam kondisi gelap, bukan karena takut, tetapi pandangan tidak sebebas saat terang. Namun, demi melihat matahari di tempat terindah, saya rela untuk bangun dini hari dan beranjak menjejakkan kaki.
Medan semakin berat. Meski tenda dan beban bawaan sudah ditinggal, hanya membawa ransel kecil untuk bekal makanan dan minuman, langkah masih sangat berat. Akar-akar pepohonan besar semakin rapat, menjadi halang rintang tersendiri di setiap langkah. Banyak tali-tali webbing yang bergelantungan di sisi tebing, membantu para pendaki untuk meraih tanjakan-tanjakan tajam. Jalurnya begitu lembab dan becek sehingga cenderung licin, menambah tingkat kesulitan tersendiri.
Riuh ramai mulai terdengar. Tibalah kami di puncak Manik. Akhirnya bertemu dengan rombongan napak tilas yang lain. Mereka semalam mendirikan tenda di sekitaran puncak. Dengan senyum ceria dan lega, berkenalan dan berbagi cerita. Saatnya ganti kostum dan foto-foto cantik di puncak.
Benar-benar kecil cabe rawit, gunungnya tidak tinggi, tetapi pedasnya bukan main, untuk kaki dan nafas. Persiapan fisik memang diperlukan, agar kita tetap bisa nyaman dalam pendakian dan tidak mudah lelah atau mengeluh.
Pulang dengan Sepatu Kotor
Setelah puas foto-foto dan menikmati sejenak dalam tegukan kopi nikmat, kami turun kembali, karena mengejar jadwal kereta pulang. Sedikit berlari meski tetap harus hati-hati. Sampai di tenda, akhirnya sarapan dengan lahap, serasa usai trail run 5,2 km dari HM24S–puncak–HM24S.
Perjuangan ganda ketika membayangkan, perjalanan darat pulang pergi Surabaya jauh lebih lama daripada pendakian itu sendiri. Namun, namanya keinginan memang tak bisa digantikan oleh apa pun. Apalagi menjalaninya dengan senang hati, pasti tidak akan terasa.
Sesampai di warung bawah, salah satu ranger Salak sempat berkomentar, “Selamat, Anda beneran berhasil naik Gunung Salak. Kalau sepatu tidak kotor belepotan, berarti belum sampai puncak.” Hahaha … saya tersenyum bahagia sambil melepas sepatu yang sudah tidak kelihatan warna aslinya.
based on my journey on 23-23 Nov 2019
Has published : Harian Surya, 23 Agustus 2020
ayo ke salak lagi..
ayok k salak lagii
ahai… napak tilas lagi ya, hahaha