Setelah isi energi di salah satu warung sekitaran parkiran Lempuyang, perjalanan dilanjutkan ke Desa Adat Tenganan. Desa dan budaya yang ada di Tenganan merupakan tertua di Bali. Dikenal juga dengan desa Bali Aga. Sudah ada sebelum masa invansi kerajaan Majapahit datang ke pulau Bali. Adat istiadat mereka diturunkan dari para leluhur sejak abad ke-11 yang hingga sekarang masih dipegang teguh. Meski demikian, mereka tidak menutup diri dari dunia luar. Terbukti dengan terbukanya mereka dalam menerima wisatawan yang sudah ramai datang sejak tahun 1933.
Ada 3 jalan masuk ke desa Tenganan. Dua harus melewati hutan dan satu melewati jalanan beraspal dari jalan raya Candidasa. Jalan ketiga ini yang menjadi pilihan utama para pelancong yang ingin melihat keindahan desa Tenganan.
Desa Tenganan dikeliling tembok yang seolah membentuk benteng dengan komplek perumahan di dalamnya. Masuk ke area perkampungan, terlihat beberapa hasil karya warga. Ada produk tenun, anyaman, ada kumpulan topeng, hiasan telor dan sebagainya. Semuanya dipajang di depan rumah mereka.
Bangunan rumahnya sama seperti bangunan rumah tradisional Bali pada umumnya, hanya saja di Tenganan semua luas bangunan rumah dan pembagian kamarnya sama. Pembangunan rumah harus benar-benar mengikuti awig-awig atau aturan desa, tidak boleh asal buat, karena tanah tersebut adalah hak milik desa.
Berjalan menyusuri kampung sampai tiba di pertigaan berupa dapur umum dengan tungku dan tempat masak yang super besar. Sekampung memasak bersama di sana. Ibu-ibu bagian memotong daging, bapak-bapak bagian mengolah di atas wajan panas berapi besar. Uap panas dan kabut sore daerah pedesaaan menjadikan suasana begitu nyaman dan tentram di hati.
Di area kiri terdapat tempat mandi umum, ada bilik untuk pria sendiri, wanita sendiri. Lanjut lagi, terdapat bangunan Sekolah Dasar dan halaman luas dari rumput untuk bermain sepak bola.
Sementara di sini kanan hanyalah komplek rumah penduduk dan tembus ke pintu keluar.
Hukum adat desa Tenganan masih dipegang teguh. Mereka berfilosofi pada keseimbangan hidup. Seperti misalnya, masih berlaku larangan menebang pohon yang masih hidup, kecuali pasangan yang baru menikah, diperbolehkan menebang untuk membangun rumah. Itupun berlaku pada jenis pohon yang sudah dalam kondisi tiga perempat sudah mati dan melibatkan minimal lima orang saksi untuk meyakinkan kebenaran kondisi kayu tersebut.
Hal menarik lainnya dari budaya Tenganan adalah persamaan hak antara lelaki dan perempuan. Tidak berlaku pula garis keturunan atau kasta seperti umat Hindu pada umumnya. Semua warga di sini memiliki persamaan hak dan derajat yang sama.
Uniknya lagi, di desa Tenganan ini tidak akan ditemukan penjor, seperti yang biasa ditemukan di jalanan Bali. Penjor tersebut, biasanya dibuat oleh umat Hindu Bali saat merayakan Galungan, namun buat masyarakat desa, hari raya Galungan bukanlah hari besar mereka. Warga Tenganan hanya mengenal hari raya besar yakni Aci Sambah yaitu saat digelarnya tradisi Perang Pandan.
Ternyata Tenganan menyimpan banyak kekayaan budaya dan tradisi para nenek moyang bangsa Indonesia. Sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya dan sudah sepatutnya didukung pelestarian budayanya. Semakin bangga menjadi bagian dari Indonesia, dengan berbagai keanekaragaman budayanya.
based on my journey on 31 Dec 2015
Has published :
- Tribun Jateng, 21 Juli 2016
- Harian Surya, 13 Des 2020
- Youtube Harian Surya : https://youtu.be/wQ1gYc4BawE
Hi there, this weekend is nice for me, for the reason that this moment i am reading this impressive educational article here at my
house.
masih disini masih menunggu