“Buntil dan bakso!”
Buntil, makanan khas Jawa Tengah yang terbuat dari parutan daging kelapa dicampur teri yang dibumbui itu dipilih Atika Nur Layla, seorang anak gimbal berusia tujuh tahun yang akan diruwat dalam Dieng Culture Festival 2020.
Anak berambut gimbal ini merupakan fenomena unik yang terjadi di sejumlah desa di dataran tinggi Dieng. Rambut gimbal anak Dieng dipercaya sebagai titipan penguasa alam gaib dan baru bisa dipotong bila sudah ada permintaan dari sang anak dan permintaan tersebut harus dipenuhi.
Dieng Culture Festival
Event tahunan ini diselenggarakan untuk melestarikan budaya ruwatan anak gimbal. Sayangnya, karena pandemi, acara yang biasanya diadakan di bulan Agustus, saat puncaknya udara dingin menyelimuti Dieng, terpaksa diundur. Mencari bentuk yang pas, agar acara tetap bisa dilangsungkan, tapi tidak melanggar protokol kesehatan. Akhirnya sejak tahun 2020, DCF diselenggarakan secara virtual. Pun juga tahun ini, 1-3 November 2021 acara berlangsung secara virtual dan hibrid, dengan jumlah peserta yang terbatas.
Pada DCF sebelum-sebelumnya, dengan tiket berbayar dan berjubel penonton yang hadir, malah belum pernah merasakan festival ini. Justru pada tahun lalu, saat semua orang terpaksa melihat secara virtual, malah dapat kesempatan untuk hadir meliput secara langsung.
DCF saat itu berlangsung pada 16-17 September 2020. Undangan hanya dibatasi 50 orang, diperuntukkan pejabat daerah dan dinas terkait serta awak media. Seluruh kegiatan disiarkan secara live melalui media sosial dan YouTube, sehingga masyarakat tetap bisa menyaksikan dan merasakan suguhan kegiatan budaya ini dari rumah masing-masing.
DCF Hari Pertama
Secara resmi, acara DCF dibuka oleh Budi Sarwono, Bupati Banjarnegara di dalam Gedung Rumah Budaya Dieng, yang berada di depan Komplek Candi Arjuna. Tari-tarian juga mengiringi acara pembukaan tersebut, salah satunya adalah sendratari anak gimbal, yang mengambarkan prosesi ritual pemotongan rambut gimbal dalam visual seni tari. Sesuai protokol, maka seluruh pengisi acara menggunakan masker, dengan latar panggung berwarna hijau di belakangnya, karena ditayangkan secara daring.
Setelah acara pembukaan, dilanjutkan dengan penanaman pohon dan webinar. Tema webinar yang diusung adalah Budaya dan Lingkungan Menuju Desa Wisata yang Berkelanjutan. Diisi oleh Alif Faozi, founder dan ketua DCF, Sinung N Rahmadi, Kepala Disporapar Jawa Tengah, Doto Yogantoro, founder Desa Wisata Institute, Destha TitiRahrbjana, dari Pusat Studi Pariwisata Universitas Gajah Mada. Mereka berbicara tentang sejarah festival ini dan tentang harapan ke depan, untuk menjadikan Dieng sebagai rumah wisata. Ritual pemotongan rambut gimbal diharapkan tidak hanya menjadi ritual budaya, namun bisa menjadi icon pariwisata.
Sore hari, sempat berkeliling ke area sekitaran panggung utama, yang berada di atas Rumah Budaya. Panggungnya ditata sedemikian rupa sehingga pemandangan belakangnya adalah desa-desa area Banjarnegara berlatar sawah dan pegunungan. Terbayang malam nanti, saat pertunjukan jazz di sini, akan terlihat lampu-lampu dari kejauhan dan saat ritual pagi, akan menikmati hamparan hijau yang diselimuti kabut. Dekorasi caping yang terbuat dari anyaman menghiasi sekitaran area depan panggung.
Usai magrib, diadakan doa dan tahlilan agar semua acara berjalan dengan lancar. Penjagaan mulai diperketat di sekitaran area, karena pertunjukan Jazz Atas Awan akan dimulai setelahnya. Area benar-benar disterilkan dari pengunjung, baik masyarakat sekitar ataupun wisatawan yang kebetulan berlibur di area Dieng.
Jazz Kemul Sarung
Menu pembuka Jazz Kemul Sarung ini adalah Kailasa Band, asli dari Dieng. Pemanasan dengan lagu santai bernuansa jazz. Teman-teman yang ikutan nonton melalui streaming, sempat japri dan komen, mereka sungguh terhibur, melepas rindu dengan DCF dan seolah ikut merasakan dinginnya suasana area Dieng.
Memang semakin malam, udara mulai semakin dingin. Di kisaran 10 derajat di sini. Meski baju sudah berlapis, seolah tak cukup meredam masuknya hawa dingin ke tubuh. Ditemani bapak Yudo Trilaksono dari Disporapar Jawa Tengah, ngobrol banyak mengenai pariwisata di Jawa Tengah. Sebanyak enam event Jawa Tengah berhasil masuk dalam Top 100 National Calendar of Events 2020 Kementrian Pariwisata, termasuk DCF ini.
“Kalau tidak dilangsungkan virtual, antrian kendaraan bisa panjang. Area pertunjukan jazz menggunakan tempat yang lebih luas dan berjubel ratusan ribu penonton.” Begitu kenangnya. Dengan kondisi pandemi ini, beliau dan tim tetap optimis dan mendukung untuk melangsungkan acara ini, sebagai wujud kontinuitas kelangsungan event budaya dan pariwisata, meskipun terpaksa dilakukan daring. Semoga euforianya masih sama dan penontonnya malah lebih luas, menjangkau seluruh Indonesia bahkan bisa sampai mancanegara.
Berlanjut, pertunjukan kedua adalah persembahan Rubah di Selatan. Musik eksperimental bernuansa etnik dipadu dengan visual art, menghangatkan suasana dingin di Dieng. Aroma musik yang tak biasa, ditambah dengan suara melengking Melinda sang vokalis, memberi getar yang berbeda.
Bintang tamu utama adalah Letto. Sayangnya, karena sudah pk. 22.00 WIB, acara terpaksa dihentikan, agar tidak melanggar aturan protokol kesehatan. Hmm… aku paham mengenai aturan jam malam selama pandemi ini, yang sengaja dibuat untuk mengurangi aktivitas kumpul-kumpul yang tidak perlu, yang biasanya dilakukan usai kerja, notabene itu adalah malam hari. Tapi, sebenarnya beda kasus dengan DCF ini, dimana kuota sejak awal sudah ditentukan, dilakukan penjagaan ketat, sehingga mau jam berapa pun, pengunjung tidak akan bertambah melebihi ketentuan. Namun, yang namanya aturan, tetaplah aturan, saklek, tanpa pengecualian. Pertunjukan terhenti dadakan.
DCF Hari Kedua
Jadilah Letto manggung di antara kabut pagi, saat matahari mulai merayap naik perlahan dan menghangatkan dataran tinggi Dieng. Sederetan lagu hitsnya dimainkan, seperti Ruang Rindu, Tentang Rindu, Sandaran Hati dan Sebelum Cahaya.
Dan… aku masih tertidur pulas saat itu. Alarm terkalahkan oleh hawa dingin yang membuat semakin nyenyak, bukannya terjaga. Terlonjak saat pk. 08.00 WIB. Melihat ke luar kamar, ternyata beberapa teman panitia juga masih selimutan. Bergegas mandi, karena tidak mau melewatkan puncak acara, pemotongan rambut gimbal.
Ritual Jamasan dan Potong Rambut Gimbal
Tahun-tahun sebelumnya, biasanya menghadirkan 11 anak gimbal untuk ikut dalam ritual ini, namun tahun ini hanya mengundang 3 anak saja.
Ritual diawali dengan jamasan atau pencucian rambut. Air dipercikkan menggunakan daun ke kepala anak-anak tersebut. Air yang digunakan untuk jamasan ini berasal dari mata air Tuk Bima Lukar, Sendang Maerokoco, Sendang Buana dan Telaga Balekambang, yang diambil oleh pemangku adat sehari sebelum ritual dilangsungkan.
Selanjutnya adalah proses pemotongan rambut. Anak pertama yang dipotong rambutnya adalah Atika Nur Layla. Berikutnya adalah Rely Julianti, usia sembilan tahun dengan permintaan satu buah ponsel. Dan yang terakhir adalah Dea Maulana Savira dengan permintaan kalung emas dan satu buah tablet.
Setelah selesai, diadakan ngalap berkah atau syukuran makan nasi tumpengan dan jajan pasar. Semua berjumlah pitu (tujuh) dengan filosofi pitulungan atau pertolongan.
Sebagai pamungkas adalah prosesi pelarungan. Ritual dilangsungkan di Telaga Balekambang. Lokasinya berada di samping komplek Candi Arjuna, tidak terlalu terlihat, karena terhalang oleh pematang sawah. Merupakan telaga kuno yang dahulu difungsikan untuk menampung buangan air agar tidak menggenangi Kompleks Candi Arjuna. Memiliki luas sekitar 10 hektar, tetapi sebagian mengalami pendangkalan dan tertutup oleh rumput. Prosesi diawali dengan tabur bunga dan kemudian menghanyutkan potongan rambut gimbal tersebut dalam belanga tanah liat.
Udara siang ini begitu panas menyengat, berbeda jauh dengan rasa dingin yang dialami semalam. Haus dan lapar saat berburu gambar, belum sempat sarapan sejak pagi. Tapi yang namanya rejeki, tak lari kemana. Sajian yang digunakan ritual, dibagikan kepada para pemburu foto. Jadilah seru-seruan makan ayam di tengah teriknya sawah siang ini.
Usai sudah rangkaian kegiatan acara DCF 2020 ini. Meski dibuat lebih ringkas dan padat, namun tidak menghilangkan makna utamanya untuk selalu menjaga kelestarian budaya. Semoga dunia segera pulih dan pariwisata segera normal kembali, sehingga tahun depan sudah bisa dinikmati secara langsung oleh pengunjung.
based on my journey on 16-17 Sept 2020
has published : Harian Surya, 20 September 2020
anak anak itu pilih sendiri permintaannya apa ada pilihan?
pilih sendiri… makanya rambut gimbal ini baru bisa dipotong ketika anak tersebut sudah tercetus pengin apa dan harus dituruti