Berawal dari keinginan untuk memanfaatkan liburan panjang di bulan Juni 2011, kami memilih blusukan ke daerah ujung paling timur pulau Jawa. Mulai dari sisi selatan pulau Jawa adalah Taman Nasional Meru Betiri, kemudian Alas Purwo di ujung paling timur dan mengarah ke utara adalah Taman Nasional Baluran. Semua mempunyai kondisi geografis yang berbeda dan unik, dengan flora dan fauna yang masih alami.
Bersama Greta, nama mobil taft kesayangan pasangan Yogie dan Lia, kami berempat menembus jalanan Surabaya menuju Jember di hari Rabu malam. Kalau mau ditanya jam berangkatnya, pasti lewat dari tengah malam, baru kami cabut. Ada yang masih ngecek mobil lah, ada yang masih perlu dirayu berulang kali supaya tetep berangkat, ada yang bekalnya kurang ini itu, rutinitas yang biasa terjadi sebelum kami berangkat. Sesaat roda berputar, ‘klik’ central lock berbunyi, itulah tanda petualangan kami dimulai… go go go…
Yogie dan Lia adalah pasangan yang sudah kukenal sebelum mereka married, mereka berdua hobby mbolang sejak jaman batu 😀 Anez, si item keriting yang berprofesi sebagai tour guidenya bule-bule di Indonesia, jelas suka dolan, tapi tetep aja tiap mau berangkat, harus dirayu-rayu dulu, entar kalo sudah perjalanan apalagi sampai ke tempat tujuan baru ketawa ketiwi. Beberapa hal yang sama rasa dari kami berempat adalah memilih istirahat di tenda dan menyatu dengan alam daripada tidur di homestay, memilih hidden place, dimana belum banyak orang tahu tentang tempat wisata tersebut dan so pasti…semakin ekstrim, semakin menarik buat kami.
Go..go..go… gas terus ditancap… GPS disetting menuju arah Sukamade, musik sedikit dikeraskan…”I want to break free…I want to break free…” dan mulailah dengan aktivitas masing-masing. Ada yang nyetir (pastinya), ada yang ikutan nyanyi-nyanyi, ada yang merebahkan kepala bersiap tidur untuk ngecharge energi, ada yang masih sibuk dengan handphonenya.
Saat subuh, kami mulai memasuki kota Jember. Yogie mengajak ke salah satu tempat favoritnya di Jember, yaitu sarapan kopitan (singkatan dari kopi dan ketan). Kopi hitam pekat yang disajikan panas plus ketan dengan taburan kelapa parut dan bubuk bumbu, dan satu hal yang special, ada tempe goreng ikut disajikan bersama ketan tersebut, semuanya serasa begitu nikmat sebagai sarapan kami pagi ini. Lokasinya ngemper di Jl. Sultan Agung, tapi suasananya begitu hangat, termasuk sapaan dari penjualnya, dengan sedikit dialeg Madura. Anez nanggepin dengan senengnya (Anez benernya orang Surabaya asli, tapi kemampuan belajar bahasanya sangat cepat, termasuk bahasa Madura, hehehhe).
Setelah cukup istirahat dan meluruskan kaki-kaki panjang kami, perjalanan lanjut menuju Jajag, kota terakhir sebelum memasuki negeri antah berantah. Di kota Jajag, kami mampir di warung untuk melengkapi perbekalan kami, termasuk belanja sayur mayur untuk tambahan menu kami saat camping.
Go…go…go… sampailah kami di desa Rajegwesi. Merupakan pemukiman desa nelayan dengan hamparan laut biru di depan, kapal-kapal nelayan yang bersandar, bebek dan ayam yang bermain-main di pekarangan. Saatnya foto-foto. Tapi…terjadi sebuah kebodohan buat saya seumur hidup, kamera DSLR saya berupa body dengan 2 lensa yang duduk manis di tas tanpa sebuah memory card… Oh no… Anez langsung punya kesempatan untuk jail dan memanfaatkan kebodohanku ini sebagai bahan pembicaraan selama perjalanan… Untungnya Yogie juga bawa kamera DSLR lengkap selengkap-lengkap nya, jadi tetep bisa bernarsis ria semua.
Untuk menghibur diri, siang itu saya makan banyak di warung sana. Terlihat yang lain juga leukoh menyantap menu makan siang ini, karena memang sudah pada lapar. Sebelum beranjak, nampak seorang penduduk menawarkan ikan tangkapannya dan kami beli sebagai tambahan bekal santapan nanti malam, karena saya tahu, di Sukamade disediakan dapur umum untuk memasak para pengunjung, jadi mudah saja buat saya untuk mengolahnya nanti.
Taman Nasional Meru Betiri
Dari Rajegwesi, kami lanjut menuju Sukamade, berupa jalan makadam yang sangat rusak dan hanya bisa ditempuh dengan kendaraan 4×4, almost sepanjang jalan offroad dan akan melewati 3 sungai, dimana salah satunya cukup dalam. Kalau sedang pasang bisa sampai 125 cm, saat kami lewati adalah setinggi 80 cm.
Tapi dengan ketangguhan Greta dan keahlian driver (Yogie) serta co-drivernya (Lia), tidak ada medan yang tidak mampu dilewati. Setiap jalanan becek atau tancakan ekstrim, malah menjadi obyek bagus buat saya jeprat-jepret Greta.
Di tengah perjalanan menuju Sukamade, ada sebuah surga kecil yang tersembunyi, Teluk Damai dan Teluk Hijau namanya. Kami harus menuruni bukit dulu dengan berjalan kaki sejauh lebih kurang 1 km untuk menuju Teluk Damai.
Sesampai di sana, terhampar lautan biru dengan deburan ombak yang cukup keras, karena merupakan deretan lautan selatan, dengan batu karang yang besar-besar. Kami langsung exist di puncak batu dengan camera timer, say cheers….
Tak jauh dari sana, 600 m berikutnya adalah Teluk Hijau, lebih eksotis lagi tempatnya. Dengan pasir yang putih bersih, air laut yang kehijauan, dengan beberapa gugusan karang di sisi kiri, ditambah pantai yang masih cukup sepi, serasa menjadi surga milik kami. Kamera dimainkan, DSLR dan kamera blackberry, siap exist di dunia maya, cerita pada dunia, bahwa bukan hanya Thailand yang punya pantai cantik dan eksotis, Indonesia pun sebenarnya tidak kalah menariknya.
Setelah puas bermain dan berfoto di Teluk Damai dan Teluk Hijau, lanjut lagi menikmati perjalanan offroad kami.
Sungai-sungai yang dikhawatirkan telah sanggup terlewati dan mulai Yogie berulah, dengan sombongnya meremehkan medan yang diperkirakan ekstrim tersebut. Dan kena dech, digodain oleh semesta, kami terjebak di sebuah lokasi yang sangat berlumpur, karena awalan yang salah dan ban belakang yang terpeleset. Mobil benar-benar tidak bisa jalan karena ban mobil sudah tidak ada pijakannya, sudah tertutup lumpur dan jalannya sangat licin. Kami cukup panik menghadapi situasi tersebut karena kami sangat jauh dari permukiman dan tidak ada sinyal di daerah itu. Kami mencoba mengumpulkan daun-daun kering, batu dan batang-batang pohon untuk membantu sebagai pijakan ban mobil. Selain itu kami juga mendorongnya dari belakang untuk menambah dorongan pada mobil. Akhirnya setelah beberapa saat, syukurlah mobil kami kemudian bisa terbebas dari medan itu dan kembali melanjutkan perjalanan ke pantai Sukamade. Di saat-saat seperti inilah kekompakan kami diuji. Coba ada satu yang ‘mutung’ alias nyerah, duduk sambil nangis di pinggiran, atau bisanya cuma ngomel-ngomel, malah ribet dech jadinya, hehehe…
Setelah melewati beberapa hektar perkebunan coklat, sampai juga kami di pantai Sukamade. Kami melapor dan ijin untuk bermalam dan camping di sana. Anez paling hobby bersosialisasi dengan penduduk ataupun petugas setempat sekaligus menggali info kepariwisataan Indonesia yang siap dijual olehnya… cieee…
Daerah Sukamade, tempatnya masih begitu alami, dengan beberapa hewan liar yang masih nampak berkeliaran di sana, ada kera, nyambik, babi hutan serta berbagai jenis serangga.
Sebelum matahari terbenam, kami menyempatkan diri ke pantai. Karakter pantainya berbeda lagi kali ini. Pasirnya lebih hitam dengan garis pantai yang sangat luas. Oh ya, dulu saya pernah ke sana beberapa tahun sebelumnya, ada sebuah rawa yang sangat eksotis di dekat sana, dan kabarnya masih ada buayanya, sayangnya saat ini rawanya sudah kering. Trus buayanya pada kemana ya ? (pada ke kota kaleee…hehehehe…)
Dan sekarang saatnya pria bekerja memasang tenda serta menyiapkan api unggun, sementara saya dan Lia menyiapkan hidangan makan malam. Ada sayur yang dibeli di pasar tadi pagi dan ikan segar hasil tangkapan nelayan tadi siang, semua siap diolah.
Aktivitas malam di Sukamade adalah menyaksikan penyu bertelur. Sekitar jam 9 malam, kami diajak petugas ke arah pantai. Setelah menunggu kurang lebih 1 jam, akhirnya muncul juga yang ditunggu dan kami menyaksikan saat-saat dimana dimana penyu tersebut mulai menggali lubang, kemudian bertelur, menimbun telur-telur tersebut dan kemudian kembali ke pantai. Beruntungnya kami, malam itu ada dua penyu yang bertelur. Satu penyu bertelur 125 butir dan satunya 140 butir. Setelah itu kami kembali ke tenda kami untuk beristirahat.
Saya pernah dolan dengan pasangan Yogie dan Lia, saya juga pernah dolan dengan Anez bersama teman-teman lainnya. Namun baru kali ini, kami melakukan petualangan bersama berempat. Setelah evaluasi perjalanan hari pertama ini, sadarlah kami, meski ini petualangan berempat kami yang pertama, namun kami merasa sudah sangat kompak dan bisa menjadi tim yang saling melengkapi, apalagi di saat-saat menegangkan. Makanya kami beri nama Great Team, dan judul petualangan ini “The Moment with Great Team”. Tidur…tidur…
Esok paginya, kami memulai aktivitas dengan membantu petugas sekitar untuk mengambil telur-telur penyu yang sudah menetas dan siap dilepas ke laut. Para pengunjung di sana, dipersilahkan jika ingin melepas tukik-tukik tersebut berenang ke lautan lepas.
Buat yang ingin mencicipi wisata ini dan tidak mau repot dengan masalah akomodasi dan perbekalan, tinggal sewa saja kendaraan di Jajag untuk mengantar ke Sukamade. Kalaupun mau mampir ke Teluk Hijau dan Teluk Damai tinggal sampaikan saja kepada drivernya. Untuk masalah tempat tinggal dan makanan, di Sukamade, banyak tersedia homestay sederhana dan bisa pesan makanan.
Sudah puas bermain-main, kenyang sarapan, dan cakep semua setelah mandi, kami melanjutkan perjalanan ke Alas Purwo. Stop… jepret dulu, say cheers…
Alas Purwo
Perjalanan cukup jauh dan lebih menegangkan, karena kami benar-benar tidak tahu medan apa yang akan kami hadapi. Memasuki kawasan Alas Purwo kurang lebih jam sebelas malam.
Begitu memasuki hutan lebat ini, kami merasakan hawa yang berbeda. Alas (=hutan) yang terkenal dengan hal mistisnya tersebut didominasi dengan tumbuhan jati yang mungkin sudah berusia puluhan tahun. Sebenarnya banyak obyek wisata yang dapat dikunjungi di sekitar sana seperti pantai Triangulasi, pantai Panjur, Plengkung, Sadengan, Pura peninggalan Majapahit dan beberapa gua. Selain terkenal akan pantai yang biasa digunakan untuk selancar, yaitu pantai Plengkung, dimana orang sering menyebutnya G-Land, alas ini juga terkenal dengan wisata mistisnya dimana orang banyak datang untuk melakukan suatu upacara dengan tujuan tertentu.
Karena saat itu sudah tengah malam, setelah survey ke beberapa tempat, kami memutuskan untuk membuka tenda di pantai Triangulasi. Tenda dipasang di pinggir pantai lengkap dengan api unggunnya. Tanpa dikomando, kami berempat sibuk dengan tugas masing-masing, sampai tenda berdiri dan makan malam siap disantap. Malam itu kami menutup hari dengan menikmati bintang ditemani suara deburan ombak dan segelas kopi susu, saling bercanda, cerita-cerita sampai akhirnya sahut-menyahut bunyi ngorok. Upsss….
Pagi harinya kami berjalan-jalan di sekitar pantai dan jogging di track yang tidak terlalu jauh dari lokasi pantai. How’s beautiful this life…
Dari pantai Triangulasi, sore harinya kami menuju ke Sadengan yaitu savana yang memang dibuat untuk ground feeding banteng. Di Sadengan, kami menikmati pemandangan dari gardu pandang. Saat tiba di sana, kami tidak langsung menemukan banteng, karena memang biasanya mereka hanya muncul di jam-jam tertentu. Sambil menunggu banteng, kami mengamati perilaku dan interaksi binatang-binatang yang ada disitu seperti burung merak, celeng atau babi hutan, rusa, dan burung pelican.
Sambil mengamati para ‘binatang film’ tersebut, kami juga menertawakan ulah Anez, yang gagap pakai kamera, sehingga hampir kehilangan setiap momen indah untuk dijepret.
Setelah menunggu satu jam, banteng yang ditunggu tidak muncul-muncul. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Baluran untuk melengkapi trip ini.
Tapi ketika Yogie menyalakan mobil, tiba-tiba Anez sempat melihat ada dua ekor banteng betina dan jantan yang mulai tampak. Pemandangan yang sayang jika dilewatkan. Akhirnya kami turun dari mobil dan melihat komunitas banteng mulai keluar untuk mencari makanan. Jumlahnya tidak begitu banyak karena memang keterangan dari petugas yang ada disitu, banteng yang ada di Sadengan hanya tertinggal 62 ekor.
Sebelum keluar dari Alas Purwo, kami menumpang mandi sekalian makan di warung sebelah pos petugas. Namanya warungnya cukup unik “Rawbend” yang kemudian kami tahu dari pemiliknya nama itu adalah singkatan dari Rawa Bendo yang merupakan nama daerah tersebut. Warungnya biasa saja, tidak begitu besar, hanya ada 3 buah meja di dalam dan 3 buah meja di luar, menunya pun sederhana, hanya mie kuah, mie goreng, nasi goreng, dan ikan laut.
Yang luar biasa adalah pelayanannya. Kami diterima sangat baik oleh pemilik warung, bahkan kami merasa seperti datang ke rumah saudara jauh. Malam itu kami ditawari ikan laut yang namanya ikan putih digoreng kering dengan cocolan sambal matang. Hm… so yummy… Untungnya kami berempat pemakan segala, tidak pilih-pilih dan tidak alergi apapun, jadi semakin mudahlah hidup kami 😀 Sepulang dari warung tersebut, kami diberi bekal gorengan ikan… Bonus…bonus…
Taman Nasional Baluran
Tidak lengkap rasanya kalau menjelajah Banyuwangi tanpa menjenguk Hutan Baluran. Jika di Alas Purwo rasanya seperti menerobos wilayah antah berantah karena pepohonan besar yang tumbuh rapi di tepi pantai, di Baluran hutannya lebih kering.
Tidak menunggu terlalu lama, Greta, taft kesayangan langsung diajak menderum. Sampai hutan Baluran sekitar pukul satu dini hari. Setelah ijin kepada petugas, kami langsung membuka tenda persis di pinggir sungai. Langit malam begitu cerah dihiasi banyak bintang sama seperti malam sebelumnya.
Kami tiba di hutan Baluran sekitar jam satu dini hari. Setelah ijin kepada petugas, kami langsung membuka tenda di camping ground persis di pinggir sungai. Langit malam itu begitu cerah dihiasi banyak bintang sama seperti malam sebelumnya. Tidak ada yang berbicara. Semua sibuk mencari sinyal untuk pamer kebahagiaan kami di bawah langit berbintang. Tapi itu tidak berlangsung lama, ponsel ditutup lagi. Berempat memilih mengobrol sambil menikmati malam penuh bintang yang pasti langka didapat di Surabaya.
Matahari pagi mengingatkan bahwa tidak banyak waktu untuk bermalas-malasan. Ada beberapa obyek yang harus didatangi sebelum kembali ke Surabaya. Biar seger, maen dan mandi dulu di sungai…
Karena itu hari terakhir kami, persediaan makanan yang kami punya pun hanya tinggal sedikit, kornet yang tinggal separuh, mie goreng dan ikan laut yang kami beli di warung Rawbend. Kali ini Anez yang jadi koki utamanya. Ikan lautnya dibakar di sisa bara api unggun semalam. Looks yummy….
Di hari terakhir ini, penyajian dibuat cukup berbeda dari biasanya. Lia mencari daun pisang yang masih utuh kemudian menggelarnya sebagai meja saji dan memotong daun pisang untuk pengganti piring.
Welcome to kafe daun pisang, hehehehe…. Selamat makan Indonesia…
Setelah sarapan, kami melanjutkan perjalanan ke obyek-obyek wisata yang ada di Baluran. Berbeda karakter dengan dua hutan sebelumnya, hutan di Baluran karakternya lebih banyak tumbuhan semak-semak yang berduri. Di daerah hutan ini pun banyak sekali savana untuk pengembangbiakan banteng. Sebenarnya yang terkenal di Baluran ini adalah safari malamnya, akan tetapi karena waktu kami terbatas kami tidak bisa melihatnya.
Mampir ke Bekol.
Lanjut lagi ke pantai Bama. Karakter pantainya sangat tenang dengan hutan bakau disekitarnya.
Karena di sana sangat ramai pengunjung maka kami tidak berlama-lama dan berpindah ke pantai yang menurut petugas lebih alami yaitu pantai Bilik Sijile. Dengan berbekal keterangan dari petugas dan peta, kami mencoba mencari sendiri lokasi pantai tersebut.
Untuk menuju ke pantai tersebut, kami harus melewati hutan Baluran dengan medan offroad yang cukup sulit karena berbatu-batu besar dan pasir. Untungnya Lia sebagai co-driver cukup terampil mengarahkan. Anez bertugas berdiri di belakang mobil untuk melihat kondisi jalanan di depan. Sementara saya sibuk mengabadikan setiap momen.
Jalannya pun sangat sempit sehingga ketika berpapasan dengan sepeda motor penduduk yang mencari rumput harus mengalah salah satu. Tak jarang beberapa kali kami harus mencari jalur lain karena terhalang pohon atau kondisi jalan yang sangat rusak. Ditengah perjalanan menuju pantai, kami bertemu dengan satu area seperti savana yang sangat luas dengan beberapa pohon kaktus yang besar-besar. Kami hampir putus asa karena rasanya memang seperti tidak ada ujungnya padahal hari sudah beranjak malam. Tapi kepalang tanggung, maka kami kembali melanjutkan perjalanan.
Akhirnya kami melihat ada kehidupan, akan tetapi bukan tempat wisata seperti yang kami bayangkan melainkan sebuah permukiman penduduk. Depan pemukiman tersebut memang pantai, tapi ternyata itu adalah Bilik Merak.
Menurut infomasi penduduk, untuk ke Bilik Sijile, ditengah perjalanan tadi seharusnya kami belok ke kiri. Dan kami juga baru tahu kenapa akses menuju kesana tidak diperbaiki, itu karena untuk menghindari pemburu liar masuk dan semakin mengurangi populasi banteng yang ada disitu. Walaupun kesasar, tapi kami tidak kecewa karena cukup puas dengan tantangan jalan offroad yang memacu adrenalin. Bahkan jadi punya PR untuk mengulangi trip terakhir kami dan menemukan pantai Bilik Sijile. Setelah beberapa saat menikmati pantai Bilik Merak, kami pun segera beranjak pulang ke Surabaya.
Sampai Surabaya Senin subuh… Kerja…kerja…kerja….
based on our journey, 2 – 5 Juni 2011
has published :
Surya Online
- Kamera Bolong – Surya (tribunnews.com)
- Sekali Nongkrong Dua Penyu Bertelur – Surya (tribunnews.com)
- Surga Kecil di Tepi Hutan – Surya (tribunnews.com)
- Off Road Alami Hutan Baluran – Surya (tribunnews.com)
Harian Surya, 15 Feb 2014