Setiap usai penyelaman ketiga, jika belum gelap, biasanya rombongan dibawa jalan-jalan mampir ke pulau-pulau sekitar. Eh, belum baca yang seri penyelaman di Alor? Klik deh Diving Alor
Salah satunya adalah mampir ke pulau Ternate. Area perkampungan penghasil tenun Alor. Saat merapat ke pantai, sudah terlihat deretan kain tenun yang dipajang dengan tali-tali seperti jemuran.
Lebarnya variasi, ada yang seukuran selendang sampai selebar sarung. Pemiliknya beda-beda, sehingga kalau ada pengunjung yang merapat, ibu-ibu akan mendekat untuk transaksi tawar-menawar. Ada juga yang dipajang di depan rumahnya. Di kampung ini, juga bisa melihat langsung aktivitas ibu-ibu yang menenun. Harga tenun di sini masih terhitung murah, berbeda jauh dengan harga yang dijual di kota.
Pulau lain yang sempat didatangi adalah Pulau Pura. Kalau di sini, ketemunya Paman Yakob, penghasil arak terbaik di Alor. Terkenal racikannya paling halus dan enak. Proses penyulingannya ada di belakang rumahnya. Pengunjung juga boleh melihatnya langsung.
Arak di Alor disebut sopi, terbuat dari lontar. Biasanya kalau bertamu ke rumah Paman Yakob, akan diicipi sopi yang baru saja jadi sambil berkata “Bakung!” kemudian jawabannya “Na!” Itu semacam tos untuk minum bersama. Pulang-pulang langsung kulakan sejeriken untuk diminum bersama di resort.
Suatu sore saat pulang cepat ke resort, ingin jalan-jalan ke kampung sekitar. Mampir ke rumah salah satu staf Nautika. Di teras saudaranya, yang ada di seberang rumahnya, tampak perapian. Lalu mereka menunjukkan cara membuat jagung titi, salah satu cemilan khas Alor.
Jagung yang digunakan bukan jagung biasa, tetapi menggunakan jagung pulut putih yang bertekstur lengket seperti ketan. Merupakan varian jagung lokal yang ada di NTT. Dari biji jagung, disangrai di kuali. Diaduk menggunakan tangan langsung di atas api. Setelah beberapa menit, biji jagung tersebut dipukuli satu persatu hingga pipih menggunakan batu. Itu mengapa disebut titi alias dititi di atas batu. Hasilnya menyerupai sereal yang pipih dengan sedikit rasa gurih alami dari jagung, karena tanpa dibumbui apapun. Pengin lihat videonya? Cek Reels di IGku
Tidak terbayang butuh berapa lama untuk bikin sepiring jagung titi. Buat mereka yang sudah biasa, tangan kanan dan kiri bekerja dengan cepat, sudah seperti mesin saja. Nah, alat dibentuk menyesuaikan dengan tangan masing-masing penumbuknya. Mereka akan kikuk ketika harus menumbuk menggunakan alat orang lain. Bisa meleset dan sedikit lebih lama.
Itu sama seperti urusan kacamata orang Alor yang terbuat dari kayu. Mereka membuatnya sesuai dengan ukuran tulang wajah masing-masing. Dibutuhkan beberapa hari untuk menyelesaikannya. Dipahat sampai benar-benar pas. Kalau tidak pas, bisa merembes saat dipakai di air. Beda dengan kacamata renang pada umumnya, yang pinggirnya dilapisi dengan busa karet.
Seperti suku Bajo, mereka terbiasa menggunakan kacamata ini untuk menyelam. Buat yang tidak terbiasa, tidak mudah menggunakan kacamata ini di air. Seorang teman pernah bercerita kalau matanya jereng pas coba, sehingga hanya bertahan beberapa menit saja waktu itu. Lagipula itu adalah kacamata pinjaman, sehingga tidak sesuai dengan tulang wajahnya.
Mampir di setiap sore seperti itu belum cukup rasanya. Maka hari terakhir sengaja tidak ikut menyelam. Ingin melihat budaya yang ada di Alor dan mencari desa adat yang ada di sana. Sewa kendaraan untuk seharian putar-putar daerah Alor.
Tujuan pertama diajak melihat dugong. Dugong atau putri duyung ini merupakan salah satu mamalia laut yang sudah termasuk langka. Orang-orang di Alor menyebutnya Mawar. Nama aslinya adalah Mawardi, karena dia adalah dugong jantan. Sebelumnya ada pasangannya, terus mati. Kasihan jadinya, hidup sendiri. Para pengunjung bisa menjumpainya di pulau Sika. Rumput laut yang memenuhi tepian pulau Sika adalah makanan utamanya, sehingga dia pasti tidak akan jauh-jauh dari tempat tersebut.
Pulau Sika ada di dekat bandara, sehingga dari resort bergerak ke arah utara. Kemudian menyewa kapal kecil untuk berlayar ke pulau Sika. Kata sopir kapal, Mawar biasanya akan mendekat kalau melihat ada kapal.
Setelah lebih kurang 15 menit menunggu di sekitaran lokasi habitatnya, akhirnya si Mawar muncul juga. Dia bergerak mengelilingi kapal kemudian memeluk tubuh kapal. Ukurannya cukup besar, lebih kurang 3 meter. Hidungnya seperti kuda nil. Ekornya seperti putri duyung. Saat merapat ke kapal, sempat meraba kulitnya, terasa kasar. Ada tangan di kiri kanan tubuhnya dan cengkramannya terasa sangat kuat pada tubuh kapal. Makanya, sekarang pengunjung sudah tidak boleh nyemplung dan berenang bareng dia. Khawatir jika tiba-tiba si Mawar memeluk kencang dan tidak bisa lepas, akan membuat panik pengunjung. Apalagi kalau sampai dipeluk dan dibawa berenang ke kedalaman, bisa membahayakan pengunjung.
Setelah meilhat dugong, lanjut melihat rumah adat di Desa Takpala. Desa ini dihuni oleh suku Abui, suku terbesar di pulau Alor. Merupakan orang gunung, yang dulunya tinggal di pedalaman. Pada tahun 1939 mereka dipindahkan ke area perbukitan agar memudahkan kegiatan pemungutan pajak yang dilakukan oleh petugas kerajaan Alor.
Untuk menuju desa tersebut, bergeser ke arah timur pulau. Desanya jauh lebih tinggi dari akses jalan utama, sehingga pengunjung harus naik tangga terlebih dahulu, kemudian memasuki lorong desa. ketika masuk, disambut oleh kepala suku yang kebetulan sedang duduk santai di bale-bale.
Rumah adat di sini bertingkat. Bagian paling bawah difungsikan seperti bale-bale atau tempat menerima tamu. Lantai dua digunakan sebagai ruang masak dan ruang tidur. Atasnya lagi berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan pangan, seperti lumbung di masing-masing rumah. Paling atas digunakan untuk menyimpan barang berharga. Atapnya terbuat dari alang-alang dengan tumpukan yang tebal.
Hingga hari ini, mereka masih berladang dan berburu. Sementara kaum perempuan menenun dan membuat kerajinan tangan sepeti kalung, gelang, anting-anting, dan juga tas yang terbuat dari anyaman bambu.
Di sini, pengunjung bisa memakai baju adat dan berfoto dengan latar rumah-rumah adat tersebut. Bebas pilih, mau sewa pakaian di rumah yang mana. Harganya tergantung kesepakatan. Siang itu, Natalia yang muncul dari salah satu rumah, sigap menawarkan duluan. Langsung didandani ala perempuan Alor. Mulai dari sarung yang terbuat dari tenun sebagai pakaian utama, dililitkan di dada. Kemudian dipasangkan ikat pinggang. Disematkan dua kalung yang dipasang menyilang di dada kemudian ditambahkan tas anyaman yang diselempangkan ke pundak.
Bentuk tas pria dan wanita berbeda. Yang persegi panjang adalah untuk wanita, namanya tas Fu’ulak, sementara untuk pria disebut Kamol, bentuknya persegi. Keduanya berfungsi untuk menyimpan uang atau sirih pinang.
Diriasnya belum selesai. Masih ada lagi. Lingkaran kepala, anting-anting dan gelang tak lupa dipasangkan sebagai pelengkap. Oh ya, satu lagi, gelang kaki di kiri dan kanan.
Natalia juga meminjamkan moko, alat musik khas Timor untuk dipakai foto. Moko terbuat dari tembikar dan merupakan barang berharga di Alor. Digunakan sebagai mahar dan harganya luar biasa mahal.
Sudah dandan, saat berpose di depan rumah adat. Remaja usia SMA ini tidak hanya pandai merias tamunya, tapi juga pandai untuk mengarahkan dan mengambil gambar. Paket lengkap dah. Usai foto-foto, pengunjung juga bisa membeli hasil kerajinan yang mereka buat tersebut.
Sebagai penutup, lanjut menikmati tenggelamnya matahari di bukit Hulnani. Katanya, tempat ini biasa dipakai untuk paralayang, Namun, hari itu sepi. Warung kopi juga sedang tutup semua. Mungkin karena hari biasa, bukan akhir pekan. Dari lokasi ini, bisa melihat lautan dari atas termasuk pulau-pulau kecil tampak di bawahnya.
Sisa malam digunakan untuk ngumpul dengan teman-teman NGO yang ada di Alor. Beberapa dari mereka adalah pendatang, tapi sudah tinggal beberapa tahun di Alor. Sehingga obrolan paling seru adalah seputar bahasa Alor yang sempat bikin mereka gagap budaya di awal kehadirannya di Alor. Banyak kata dalam bahasa Indonesia yang dipadu padankan membentuk makna baru, yang terdengar begitu lucu. Contohnya mati kambing untuk menyebut ayan, karena kalau kambing mau mati kan kejang-kejang, sama seperti orang ayan. Lalu celana umpan adalah sebutan untuk hot pants alias celana pendek banget itu. Dan masih banyak lagi istilah-istilah lucu-lucu yang digunakan.
Satu lagi, soal popcorn versi Alor. Orang sana menyebutnya jagung tembak. Jagung dimasukkan ke dalam alat berbentuk tabung yang dirancang seperti mesin penggilingan jagung berukuran mini. Nah, saat matang, bunyi letupannya yang begitu keras mirip seperti suara tembakan, makanya dinamai jagung tembak.
Sungguh menyenangkan melihat rupa Indonesia. Selain alam yang begitu indah, Indonesia juga dilengkapi dengan budaya warisan leluhur yang beraneka ragam, yang membuat kaya warna. Yuk, mencicipi setiap kepingan surga yang ada.
based on my journey on August 2022
Has published : Harian Surya, 2 April 2023
One thought on “Wisata Budaya Alor ke Desa Adat Takpala dan Jumpa dengan Mawar”