Sejak 5 abad yang lalu, seminggu menjelang Perayaan Paskah, Larantuka, kota di ujung timur pulau Flores ini selalu disibukkan dengan rangkaian ritual Semana Santa. Ritual yang menggabungkan warisan budaya Portugis dan tradisi adat Larantuka ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi tamu Indonesia maupun mancanegara. Setiap tahunnya, ribuan umat Katolik datang ke kota ini untuk berziarah dan mengikuti prosesi Semana Santa tersebut. Dan tahun 2019, saya nekad untuk mengikuti wisata rohani ini, meskipun harus berangkat sendirian, karena lokasinya yang cukup jauh, butuh budget yang lumayan mahal, mengingat tiket pesawat ke Indonesia timur masih tinggi-tingginya.
Sejarah Semana Santa
Sekitar 500 tahun silam, di pantai Larantuka, saat laut tenang, seorang bocah bermain di pinggir pantai untuk mencari ikan di sela-sela karang. Saat itulah dia menemukan patung perempuan di tepi laut. Kemudian dia pulang dan menyerahkan patung tersebut kepada neneknya. Masyarakat Larantuka yang kala itu masih menganut animisme dan dinamisme, menganggap patung itu sebagai benda keramat. Jadilah patung tersebut ditahtakan di korke (rumah adat) dan menyembahnya layaknya sebagai dewi. Orang-orang Lamaholot yang mendiami pesisir Flores, selalu berdoa di depan patung itu ketika sedang menginginkan sesuatu, seperti permohonan panen yang melimpah, permohonan kesembuhan bahkan ritual doa sebelum perang. Dan seperti menjadi kekuatan tersendiri, masyarakat merasa permohonannya selalu dikabulkan. Masyarakat sekitar akhirnya menyebut patung tersebut sebagai Tuan Ma, yang secara harafiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama. Sementara masyarakat Lamaholot menyebutnya Rera Wulan Tanah Ekan atau Dewa Langit dan Dewa Bumi.
Pada abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan bangsa Portugis yang mencari rempah-rempah di Flores, datanglah misionaris yang menyebarkan agama Katolik. Raja Larantuka lalu membawa sang misionaris ke korke, tempat pentahtaan sang dewi. Ketika membaca tulisan yang tertera di dekat sang dewi dan menyadari bahwa perempuan itu adalah Bunda Maria, sang misionaris langsung berlutut. Tulisan itu berbunyi “Sang Maria Reinha Rosari”. Sang misionaris mengatakan, Bunda Maria membuka jalan pada tanah ini untuk menyebarkan agama putranya. Raja Larantuka pun berkesimpulan bahwa Bunda Maria sebagai pembuka jalan bagi penyebaran agama Katolik di wilayah tersebut. Pada tahun 1650, Raja Larantuka Ola Adobala dibabtis dan menyerahkan kerajaan Larantuka kepada Tuan Ma, yang kini dianggap sebagai perwujudan Bunda Maria. Anggota keluarga kerajaan dan masyarakat sekitar pun masuk Katolik. Sejak saat itu, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) yang artinya Kota Ratu, Kota Maria. Dan pada tahun 1665 mulai melakukan ritual mengarak patung Tuan Ma keliling Larantuka. Hingga kini, tradisi tersebut masih dilakukan setiap Jumat Agung. Patung Tuan Ma (patung Bunda Maria) dan Tuan Ana (patung Yesus) diarak keliling kota Larantuka.
Tentang patung yang datang duluan sebelum penyebaran agama Katolik, dimungkinkan karena menurut sejarah, pada tahun 1510 ada kapal Portugis yang melakukan pelayaran dagang ke timur dan karam di kampung yang disebut sebagai kampung “penyu” yang dalam bahasa Larantuka disebut Lokea. Nah, kapal dagang tersebut umumnya membawa barang-barang kudus seperti patung untuk mereka hadiahkan.
Wisata Rohani di Larantuka
Kesibukan kota Larantuka sudah dimulai sejak seminggu menjelang Paskah. Tapi peziarah bisa menyesuaikan jadwal kedatangan, dimana puncak prosesi adalah di hari Jumat. Saat ini sudah ada dua maskapai penerbangan yang melayani rute ke Larantuka dengan pilihan transit di Kupang.
Karena rencana kedatangan saya ke Larantuka begitu dadakan, yang paling mengkhawatirkan adalah masalah hotel. Biasanya akan penuh di hari-hari puncak perayaan. Tapi untungnya dapat kamar, itupun karena ada rombongan yang batal berangkat. Sebenarnya banyak hotel yang bisa menampung kita selama tinggal di Larantuka, namun lebih baik dipesan jauh-jauh kalau pas waktu menjelang Paskah seperti ini.
Ketika tiba di Larantuka, pengunjung harus segera ke gereja katedral untuk mendaftarkan diri sebagai peziarah. Kita akan dibekali dengan keplek dan buku jadwal acara. Setelah tugas pendaftaran beres, barulah bebas jalan-jalan. Meskipun datang sendirian, tapi tetap saja dapat teman selama di Larantuka, Yuki dan Om Oscar siap mengantar dan menemani, sementara om Toni dan keluarganya baru akan bergabung esoknya.
Kedatangan saya di Rabu sore, saya habiskan dengan singgah ke gereja dan taman doa. Tempat pertama yang menarik adalah Taman Doa Bukit Fatima.
Berupa bangunan di tengah bukit. Dindingnya dari kaca dan sebagian besar terbuka, sehingga sejuk di mata dan di hati, meskipun terik sore itu belum usai. Beberapa bangku doa ditata rapi di sisi luar bangunan.
Yang bikin istimewa lagi, pemandangan sekitarnya adalah bukit dan lautan biru. Ada jalur yang sudah disiapkan untuk doa Jalan Salib, tapi masih dalam proses pembangunan, karena tempat ini benar-benar masih baru.
Tempat berikutnya yang dituju adalah Kapela Gabriel Manek.
Kapela atau gereja kecil ini menjadi tempat bersemayamnya Uskup Mgr. Gabriel Manek, SVD.
Kita bisa berdoa di depan peti tersebut. Kertas doa pun disiapkan pihak kapel, barangkali ada yang ingin menuliskan permohonan pribadinya.
Malamnya, ingin lanjut kuliner di taman kota, tempat sederatan warung berkumpul di kota Larantuka. Sayangnya tempatnya tutup, karena sudah mulai digunakan untuk persiapan Semana Santa. Jadilah makan sate saja. Yang uniknya, sate di Larantuka ini disajikan dengan kuah soto beserta suunnya, jadinya seger…Langsung ingat sate Blora, yang menyajikan sate dengan kuah santan kuning.
Kamis Putih
Pagi usai sarapan di hotel, langsung diajak ke pelabuhan Larantuka. Menjemput om Toni dan keluarga, yang berlayar dari Lewoleba, pulau Lembata. Sambil tunggu Bahari Express datang, saya sempat menikmati birunya lautan dan jernihnya air di sekitar pelabuhan. Pemandangan yang indah tersebut menjadikan saya betah berlama-lama di tepian. meski terik mentari cukup menyengat siang itu.
Agenda hari Kamis ini adalah melihat Tuan Berdiri di Wureh, pulau Adonara, namun tunggu matahari sedikit turun, sehingga om Toni mengajak kami makan dan bersantai di rumah masa kecilnya di desa Lewohala. Tidak jauh dari kota, tidak sampai satu jam perjalanan, kita sudah merasakan suasana yang berbeda, dari teriknya matahari sekitar pantai menjadi kesejukan udara pegunungan.
Menikmati makan siang bersama orang lokal dengan menu lokal, adalah hal istimewa buat saya. Sayuran ndeso dengan ikan dan babi menjadi menu utama kami siang itu. Babi menjadi salah satu menu andalan bagi masyarakat Indonesia timur, selain ikan tentunya.
Satu lagi yang bikin istimewa adalah minuman segar, kelapa gading yang tumbuh di samping rumah. Tinggal petik dan menikmatinya di gazebo depan rumah, sambil bercerita.
Di gazebo inilah, saya mendapat cerita tentang lokasi awal istana kerajaan Larantuka, yang tidak jauh dari situ. Namun saat ini sudah dipindah di kota Larantuka. Mereka juga bercerita tentang perkembangan dan upaya pelestarian tenun di Flores Timur. Banyak desa penghasil tenun yang menarik untuk dikunjungi dan dijadikan sebagai pilihan wisata tenun di sini, selain hanya ikut prosesi Semana Santa. Sehingga saya berjanji, tahun depannya akan datang lagi, menyempatkan waktu lebih panjang untuk menikmati alam Flores Timur ini lebih dalam.
Setelah matahari mulai turun, kami pun turun ke arah pelabuhan, untuk berlayar ke pulau Adonara.
Sekitar lima belas menit saja, kita akan tiba di sisi barat pulau. Di musim Pekan Paskah, biasanya dipenuhi para peziarah dan bisa jadi antri mulai dari sejak turun dari pantai. Makanya om Toni mengajak datang di sore hari, sehingga kalaupun antri, tidak tersiksa oleh teriknya matahari.
Tapi beruntunglah, ketika sore itu, matahari sudah bersahabat dan para peziarah sudah meluruh, sehingga kami tidak perlu antri. Kami berjalan ke arah Kapela Senhor atau Kapela Tuan Berdiri. Dari pintu gereja, kita harus masuk berjalan dengan lutut. Meskipun beralas karpet, karena tidak terbiasa, saya sedikit tersiksa dan meninggalkan lecet di lutut akhirnya.
Di dalam kapel, terdapat beberapa patung dan benda kudus peninggalan masa lalu. Yang utama adalah Patung Yesus setinggi dua meter dengan bermahkotakan duri. Kemudian ada patung jenazah Yesus yang ditidurkan di dalam keranda. Ritual yang dilakukan adalah mencium dan berdoa di dekat patung tersebut.
Setelah dari pulau Adonara, kami lanjut ke Kapela Tuan Meninu di Larantuka. Kita bisa masuk untuk melakukan ritual yang sama, berjalan berlutut dan mencium patung Tuan Meninu (patung kanak-kanak Yesus). Tidak lama, pengumuman berkumandang, bahwa akan ada ritual doa arwah, sehingga kami pun lanjut mengikuti prosesi tersebut.
Doa arwah ini untuk mendoakan para korban dari prosesi laut pada lima tahun lalu dan berdoa supaya upacara besok Jumat berjalan dengan lancar dan selamat. Salah satu bagian dari ritual ini adalah pelarungan bunga dan lilin ke laut, yang diantar dengan sampan, sampai ke tengah laut.
Matahari mulai turun. Kami kembali untuk mempersiapkan ibadah Kamis Putih, yaitu mengenang Perjamuan terakhir Yesus dengan murid-muridNya dan pembasuhan kaki para murid, sebagai lambang contoh pelayanan terhadap sesama.
Tidak sampai larut, kami harus istirahat, karena besok Jumat menjadi puncak ritual mulai dari pagi sampai tengah malam.
Jumat Agung
Jumat pukul 09.00 WITA kami berangkat ke pelabuhan untuk mendaftarkan diri mengikuti prosesi laut. Pukul 10.00 WITA rencananya kapal akan diberangkatkan, sehingga kami masih punya waktu untuk jalan-jalan ke beberapa kapel sekitar sana. Kapel pertama adalah Kapela Tuan Ana, tempat Patung Yesus. Berikutnya adalah Kapela Tuan Ma, tempat patung Bunda Maria yang menjadi bagian dari sejarah besar di Larantuka. Para peziarah antri masuk untuk mencium patung dan menyampaikan ujud doa di sana.
Persiapan kapal mulai berangkat, maka kami pun naik. Kapal-kapal diberi kuota penumpang, sehingga tidak overload dan menghindari kecelakaan karena kelebihan muatan. Prosesi laut ini adalah prosesi mengantar Tuan Meninu melalui laut, dari Kapela Tuan Meninu ke Pante Kuce – Pohon Sirih. Patung Tuan Meninu tersebut dibawa menggunakan perahu sampan, dikawal oleh sepuluh sampan lainnya. Mereka harus mendayung melalui lautan. Sementara para peziarah diijinkan untuk naik kapal motor, namun posisi kapal motor tidak boleh melebihi sampan utama yang membawa Patung Tuan Meninu tersebut. Prosesi ini menjadi lama karena benar-benar kapal harus berjalan pelan, mengawal patung tersebut, sehingga baru selesai tengah hari.
Beristirahat sebentar makan siang, kemudian mengikuti ritual berikutnya, yaitu Prosesi mengantar Patung Tuan Ma dan Tuan Ana ke Gereja Katedral Reinha Rosari. Masyarakat dan para peziarah akan berjalan bersama mengawal patung tersebut memasuki Gereja Katedral.
Prosesi mengantar Patung Tuan Ma ke Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka
Prosesi mengantar Patung Tuan Ana ke Gereja Katedral Reinha oRsari Larantuka
Berikutnya adalah ibadah Jumat Agung atau ibadah peringatan wafat Yesus. Ritualnya sama seperti yang kita jalani dimanapun, yaitu upacara kisah sengsara Yesus dan upacara penghormatan salib. Setelah ibadah tersebut, ada tradisi bagi masyarakat ziarah ke makam keluarga masing-masing, sehingga ada waktu untuk saya minum kopi sejenak sebelum ritual berikutnya.
Rangkaian upacara selanjutnya adalah Lamentasi Jumat Agung di Gereja Katedral. Ritual ini belum pernah saya ikuti sebelumnya dimanapun. Lamentasi ini merupakan doa dan nyanyian, dimana puncaknya adalah lantunan Ovos yang dinyanyikan oleh seorang wanita sebagai nyanyian ratapan Bunda Maria atas kematian Yesus.
Di balik itu, akan muncul empat orang dengan pakaian serba putih dan topi merah, mereka menyebutnya Lakademu. Lakademu ini ditunjuk bergantian tiap tahunnya untuk membawa Peti Yesus untuk diarak keliling kota. Uniknya, antar mereka dan semua umat tidak tahu siapa yang sedang bertugas dan mereka wajib merahasiakan diri mereka.
Setelah ibadah Lamentasi, langsung disambung dengan Prosesi Iman Jumat Agung. Tuan Ma dan Tuan Ana dibawa keliling kota Larantuka, melewati delapan titik perhentian kehidupan (Armida). Ribuan lilin di sepanjang rute prosesi dan di tangan para peziarah menjadikan Larantuka sebagai kota perkabungan suci. Sambil berjalan, umat akan berdoa dan melantunkan lagu ratapan. Upacara ini baru selesai sampai larut malam bahkan dini hari.
Sabtu Suci
Sabtu akhirnya menjadi waktu untuk istirahat panjang, kami baru keluar kamar saat akan makan siang. Agenda hari Sabtu ini adalah ibadah malam Paskah, upacara peringatan kebangkitan Yesus. Kami berencana merayakannya di Gereja St. Joseph Riang Kemie, desa Lewohala. Saya dipinjami sarung tenun khas Flores Timur untuk dipakai saat ibadah Paskah tersebut, sehingga tampak seperti wanita lokal.
Minggu ceria
Perjalanan rohani telah usai, akhirnya hari Minggu dihabiskan dengan duduk santai di tepi pantai. Lihat laut, langsung kangen menyelam, jadinya agenda kedatangan saya berikutnya nanti adalah menyelam dan wisata tenun, untuk turut melestarikan budaya dan alam Indonesia ini.
Sejarah keterkaitan spiritual ini menjadikan Larantuka diresmikan sebagai sister city of Lisbon. Semua rangkaian ritual rohani dan segala yang ada di Larantuka ini menjadi bagian dari budaya yang harus terus dijaga. Itu salah satu bentuk kekayaan budaya yang mewarnai Indonesia.
Terima kasih buat semua teman perjalananku. See you when I see you….
based on my journey on 17-22 April 2019
Has published : Harian Surya, 28 April 2019