Sesekali mbolang dengan geng ini dalam kondisi full team. Beberapa terbiasa blakrakan di gunung, beberapa hanya pecinta dolan. Jadinya kemping tipis-tipis saja di kaki gunung.
Perjalanan malam hari, saat semua usai kerja. Ketika hampir sampai lokasi, salah seorang teman perempuan mulai bertingkah aneh. Mobil tetap meluncur perlahan sampai area parkiran.
Bukan karena aku tidak mudah percaya dengan begituan, tapi, tingkahnya sungguh drama di mataku. Teman yang lain memintaku untuk menjaganya, karena aku dianggap sudah terbiasa di alam.
Dari parkiran, kami menurunkan barang bawaan dan berjalan menuju area camp. Demi menunjukkan simpati, aku berusaha memberikan perhatianku. Bertanya kenapa, apakah kedinginan, lapar, dsb. Tetap saja diam, dengan raut muka cemberut, enggak jelas.
Aku menyerah, dan menitipkannya ke teman pria, yang ditaksirnya. Setelah ditanya si doi, katanya dia enggak nyaman, karena melihat penampakan dimana-mana. Ya sudah, kuminta si doi untuk tetap menjaganya.
Sampai di area camp, aku meminta teman-teman menyiapkan bahan masakan. Sementara aku dan beberapa teman lain, pergi mencari kayu untuk membuat api unggun.
Saat perjalanan kembali ke arah camp, aku mendengar suara tawanya normal. Becandaan dengan yang lainnya. Kupikir, oh sudah waras. Pas aku balik, wajahnya berubah lagi. Diam, cemberut, tingkah aneh.
Aku dan beberapa teman yang tadi mendengar tawanya dari jauh, cuma bisa saling memandang. Dengan becanda, temanku berbisik, “Ketoke setan e itu kamu!”
Oalah, nduk nduk, capermu koq bawa-bawa hantu segala to. Aku bikin api unggun saja, daripada ngrumat dirimu.
BTS my journey – series 21